Pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: mengapa Baitul Maal di banyak BMT masih berada di posisi yang sama selama bertahun-tahun? Program jalan, laporan disusun, zakat disalurkan—namun dampaknya belum terasa signifikan, baik bagi masyarakat maupun bagi lembaga.

Bukan karena kurangnya potensi. Tapi sering kali karena belum adanya strategi yang menyeluruh. Artikel ini mengajak kita untuk tidak sekadar mengelola, tetapi mengembangkan Baitul Maal secara terstruktur, sebagai bagian dari arah besar BMT.


1. Memulai dari Mindset: Baitul Maal Adalah Aset, Bukan Beban

Langkah awal yang menentukan adalah bagaimana kita memposisikan Baitul Maal dalam ekosistem BMT. Selama ia hanya dilihat sebagai unit penyalur bantuan, maka pengembangannya akan berjalan di tempat.

Baitul Maal perlu dipandang sebagai:

  • Sumber daya ekonomi umat.
  • Pilar sosial yang mendukung keberlanjutan lembaga.
  • Media dakwah dan reputasi publik yang membangun kepercayaan jangka panjang.

2. Perkuat SDM: Karena Kualitas Lahir dari Tim yang Cukup

Salah satu kendala utama stagnasi Baitul Maal adalah terbatasnya SDM. Banyak unit Maal hanya dikelola oleh 1–2 orang yang harus menangani semua aspek: penghimpunan, pelaporan, penyaluran, media sosial, hingga edukasi.

Strategi yang bisa dilakukan:

  • Tambah SDM bertahap sesuai kapasitas dan target lembaga.
  • Bagi peran secara jelas: fundraising, program, dokumentasi, pelaporan.
  • Bangun tim dengan budaya kolaborasi dan visi jangka panjang.

SDM yang kuat bukan hanya mampu menjalankan program, tapi juga menjaga keberlanjutan dan inovasi.


3. Adopsi Fundraising Digital secara Bertahap

Hari ini, banyak donatur tidak lagi merespons proposal fisik. Mereka bersentuhan dengan program sosial lewat:

  • Video pendek di media sosial.
  • Cerita inspiratif dari lapangan.
  • Iklan digital dengan ajakan yang menyentuh.

Oleh karena itu, strategi digital harus mulai dijalankan, seperti:

  • Membangun konten visual secara konsisten.
  • Memanfaatkan platform donasi online.
  • Menyusun kampanye dengan narasi kuat dan CTA yang jelas.

4. Transparansi: Menjaga Kepercayaan Adalah Investasi

Kepercayaan tidak dibangun dari seberapa besar dana yang dihimpun, tapi seberapa konsisten lembaga menjaga amanah publik. Dalam konteks Baitul Maal, transparansi menjadi nyawa dari keberlanjutan.

Langkah praktis:

  • Tampilkan laporan penyaluran secara berkala (ringkas dan menarik).
  • Libatkan donatur dalam dokumentasi lapangan (foto/video).
  • Bangun komunikasi rutin dengan pendekatan yang hangat.

5. Fokus pada Program Pemberdayaan, Bukan Hanya Santunan

Jika ingin naik kelas, Baitul Maal harus mulai berpindah dari pendekatan konsumtif ke pendekatan pemberdayaan. Program santunan tetap penting, tapi perlu diseimbangkan dengan:

  • Pelatihan keterampilan dan modal usaha mikro.
  • Pendampingan usaha berbasis komunitas.
  • Pemanfaatan wakaf produktif untuk unit usaha sosial.

Model ini tidak hanya menciptakan dampak lebih panjang, tetapi juga bisa membuka potensi kontribusi ekonomi bagi lembaga.


Baitul Maal Tidak Butuh Terobosan Hebat, Tapi Konsistensi Strategis

Mengembangkan Baitul Maal tidak harus dimulai dari yang besar. Yang penting adalah langkah kecil yang dilakukan secara konsisten dan terstruktur. Dari mindset, SDM, digitalisasi, transparansi, hingga program pemberdayaan—semua akan bermakna jika dijalankan dengan niat baik dan arah yang jelas.

Kini saatnya Baitul Maal tidak hanya berjalan, tapi tumbuh. Tidak hanya hadir, tapi berdampak.

Di balik banyaknya lembaga yang bertumbuh secara finansial, kita kadang menemukan unit Baitul Maal yang stagnan bertahun-tahun—padahal dana masuk ada, program berjalan, dan semangat awal pernah menyala. Salah satu penyebab paling mendasar dari kondisi ini adalah hal yang sering kali dianggap sepele: jumlah dan kapasitas SDM.

Mari kita melihat realita yang kerap terlewat: mengapa penguatan SDM bukan sekadar pendukung, tetapi fondasi pertumbuhan Baitul Maal yang sesungguhnya.


1. SDM Terbatas = Beban Terpusat = Inovasi Terhenti

Ketika Baitul Maal dikelola hanya oleh 1–2 orang, maka seluruh tugas dan tanggung jawab terpusat pada individu:

  • Menghimpun donasi.
  • Merancang program.
  • Menyalurkan bantuan.
  • Membuat laporan dan dokumentasi.
  • Mengelola media sosial dan menjawab donatur.

Dalam jangka pendek, bisa saja berjalan. Tapi seiring waktu, kelelahan mental dan fisik akan menghantui, dan pada akhirnya:

  • Semangat menurun.
  • Program monoton.
  • Donatur tidak lagi engage.

2. Donatur Butuh Engagement, Bukan Sekadar Transfer

Salah satu pilar utama keberhasilan fundraising adalah interaksi yang hangat dan berkelanjutan. Tapi bagaimana bisa membangun relasi dengan ratusan donatur jika hanya ada satu orang di balik layar?

Tanpa tim yang cukup:

  • Konten jadi tidak konsisten.
  • Ucapan terima kasih jadi mekanis.
  • Tidak ada waktu untuk membuat kampanye baru.

Akhirnya, donatur pelan-pelan menghilang. Bukan karena tidak peduli, tapi karena tidak merasa terlibat.


3. Ketika Kinerja Tidak Maksimal, Lembaga Salah Menilai

Baitul Maal yang hanya dikelola oleh sedikit SDM cenderung menunjukkan hasil yang terbatas. Tapi keterbatasan itu bukan karena potensi Maal kecil, melainkan karena:

  • Tenaga yang ada tidak cukup untuk menggali peluang.
  • Tidak ada waktu berpikir strategis karena terjebak operasional.

Sayangnya, pimpinan kadang menyimpulkan bahwa “unit Maal kurang menjanjikan” hanya karena hasil saat ini belum optimal—padahal akar masalahnya ada di kekurangan sumber daya.


4. Perubahan Tidak Butuh Banyak, Tapi Butuh Kesadaran

Penambahan 1–2 orang di tim Maal, jika dilakukan secara tepat, dapat berdampak besar:

  • Pembagian tugas jadi lebih fokus.
  • Program bisa berkembang lebih variatif.
  • Donatur lebih terlayani dan terhubung.

Dengan pengelolaan SDM yang sehat, pengumpulan dana bisa naik dari puluhan juta menjadi ratusan juta per bulan. Bukan hanya karena “tenaga bertambah”, tapi karena sistem mulai berjalan.


Investasi Terbaik Adalah Orang yang Menjalankan Amanah

Dalam lembaga manapun, manusia adalah kunci. Teknologi, strategi, dan dana hanya alat. Tanpa SDM yang cukup dan berkualitas, potensi Baitul Maal akan tetap terkunci.

Karena itu, membangun Baitul Maal bukan hanya soal program, tapi soal tim. Bukan hanya soal donatur, tapi tentang siapa yang mengelola mereka dengan hati dan visi.

Mari bersama membuka ruang baru untuk pertumbuhan—dimulai dari keberanian untuk memperkuat tim yang selama ini bekerja dalam senyap.

Baitul Maal dalam struktur BMT sering kali diposisikan sebagai unit sosial. Namun, jika kita telaah lebih jauh, terdapat potensi besar yang secara syariah sah untuk memperkuat keberlanjutan lembaga. Artikel ini mencoba mengangkat kembali wacana bahwa Baitul Maal, melalui pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWaf), sebenarnya memiliki potensi pendapatan yang cukup signifikan—yakni hingga 12,5% hingga 20%—yang dapat menjadi bagian dari strategi besar BMT secara menyeluruh.

1. Hak Amil: Peluang Dana Operasional yang Bisa Dioptimalkan

Dalam pengelolaan zakat, syariat memberikan ruang hingga 12,5% sebagai Hak Amil. Dana ini bisa digunakan untuk mendukung operasional, memperkuat SDM, dan mengembangkan strategi pengelolaan zakat yang lebih efektif.

Beberapa potensi pemanfaatan:

  • Meningkatkan kapasitas SDM melalui rekrutmen dan pelatihan.
  • Memperkuat strategi komunikasi dan digital fundraising.
  • Menjaga transparansi dan akuntabilitas laporan kepada donatur.

Dengan pengelolaan yang baik, Hak Amil tidak hanya mendukung aktivitas sosial, tetapi juga memperkuat kelembagaan secara jangka panjang.

2. Hak Nadzir: Wakaf Sebagai Aset Permanen yang Produktif

Dalam wakaf produktif, lembaga yang berperan sebagai nazhir berhak memperoleh hingga 10% dari hasil pengelolaan. Ini memberikan peluang baru:

  • Dana wakaf dapat menjadi modal jangka panjang bagi program pemberdayaan.
  • Mengurangi ketergantungan pada dana operasional dari unit lain.
  • Memberikan ketenangan karena bersifat tidak bisa ditarik oleh pewakaf.

Contoh pemanfaatan:

  • Bisnis sosial syariah, seperti minimarket, peternakan, atau agribisnis.
  • Investasi dalam instrumen syariah, yang hasilnya dialokasikan untuk pengembangan program sosial.
  • Penyewaan aset wakaf, seperti ruko atau lahan usaha produktif.

3. Infak dan Sedekah: Sumber Fleksibel untuk Program Pemberdayaan

Berbeda dengan zakat, dana infak dan sedekah memiliki fleksibilitas dalam alokasi. Dana ini dapat diarahkan ke program-program yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi juga menumbuhkan potensi ekonomi mustahik.

Contohnya:

  • Modal usaha bergulir untuk UMKM binaan.
  • Pelatihan keterampilan dan inkubasi bisnis bagi dhuafa.
  • Investasi sosial produktif yang berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang tepat, program ini dapat berdampak ganda: sosial dan finansial.

4. Stabilitas Dana Sosial dibanding Margin Pembiayaan

Dalam praktiknya, margin pembiayaan menghadapi risiko yang tidak sedikit: gagal bayar, kondisi ekonomi makro, dan kompetisi dari institusi keuangan lain. Sebaliknya, dana sosial yang dihimpun melalui Baitul Maal lebih stabil karena:
Tidak bergantung pada kemampuan bayar pihak kedua.
Dana tidak bisa ditarik (khususnya wakaf).
Potensi pertumbuhan dengan strategi pengelolaan sosial yang profesional.
Memberikan dampak sosial yang memperkuat reputasi lembaga.

Arah Baru yang Layak Dipertimbangkan

Melihat potensi ini, Baitul Maal sebenarnya bisa menjadi pilar pendukung keberlanjutan lembaga. Tanpa menggeser peran utama unit Tamwil, optimalisasi Hak Amil, Hak Nadzir, dan dana sosial bisa menjadi strategi tambahan yang memperkuat fondasi keuangan BMT.

Dengan pendekatan yang terencana dan profesional, Baitul Maal bukan hanya tentang bantuan, tetapi tentang membangun kekuatan baru yang berdampak luas. Semoga narasi ini bisa menjadi bagian dari inspirasi bersama dalam memaksimalkan potensi yang sudah diamanahkan dalam syariat.

Baitul Maal adalah bagian penting dalam struktur BMT (Baitul Maal wat Tamwil), namun sering kali keberadaannya belum mendapatkan perhatian yang sepadan. Banyak lembaga lebih fokus pada unit Tamwil karena pertimbangan bisnis yang lebih kasat mata, padahal Baitul Maal juga memiliki potensi strategis yang besar. Artikel ini mengajak kita bersama-sama melihat kembali peran dan peluang yang sebenarnya ada di Baitul Maal.

1. Fokus Tradisional pada Tamwil, Bukan Berarti Mengabaikan Potensi Maal

Secara umum, unit Tamwil memang lebih dulu berkembang karena orientasinya yang jelas pada pembiayaan dan simpanan anggota. Namun, Baitul Maal bisa menjadi pelengkap strategis yang memperkuat misi ekonomi dan sosial BMT secara seimbang.

Sebagai contoh, dalam pengelolaan zakat, Baitul Maal berhak menerima hingga 12,5% sebagai Hak Amil, yang secara syariah sah digunakan untuk operasional dan pengembangan lembaga. Ini bisa menjadi sumber daya yang mendukung keberlanjutan kelembagaan tanpa harus membebani unit Tamwil.

2. Wakaf Uang: Aset Permanen yang Bisa Dimanfaatkan

Berbeda dengan simpanan anggota di Tamwil yang bisa ditarik sewaktu-waktu, wakaf uang bersifat permanen dan tidak ditarik kembali. Jika dikelola dengan baik:

  • Wakaf uang bisa menjadi aset strategis jangka panjang.
  • Memberikan ketenangan dalam perencanaan jangka panjang karena dana bersifat tetap.
  • Dapat digunakan untuk membiayai kegiatan produktif yang bermanfaat bagi umat dan lembaga.

Ini bisa menjadi pertimbangan bagi lembaga yang ingin membangun kekuatan aset tanpa terganggu oleh fluktuasi simpanan.

3. Potensi Pemberdayaan Ekonomi sebagai Sumber Pertumbuhan Baru

Baitul Maal juga dapat mengambil peran dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya kalangan dhuafa, yang secara bertahap bisa:

  • Menjadi pelaku usaha mandiri.
  • Bergabung sebagai anggota BMT.
  • Bahkan suatu saat menjadi muzakki dan penyumbang dana sosial.

Ini bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan dari sisi basis anggota dan jaringan ekonomi syariah.

4. Hak Amil dan Nadzir sebagai Komponen Keberlanjutan Operasional

Selain zakat, pengelolaan wakaf juga memberi peluang keberlanjutan melalui Hak Nadzir (maksimal 10% dari hasil pengelolaan). Jika ini dimaksimalkan:

  • Lembaga bisa memiliki sumber daya operasional yang berkelanjutan.
  • Program sosial bisa dikembangkan lebih sistematis.
  • Profesionalisme pengelolaan akan meningkat seiring pembiayaan yang cukup.

Dengan demikian, Baitul Maal bukan hanya tempat menyalurkan dana, tapi juga unit yang berperan aktif membangun fondasi ekonomi berbasis nilai keadilan.

Mari Melihat Kembali Potensi Strategis Baitul Maal

Melalui pendekatan yang lebih strategis dan terencana, Baitul Maal dapat menjadi kekuatan baru dalam ekosistem BMT. Dukungan pimpinan dalam bentuk kebijakan, penambahan SDM, serta integrasi program sosial dengan program ekonomi dapat membuka banyak peluang yang selama ini belum tergarap optimal.

Baitul Maal bukan beban, melainkan peluang. Dengan pengelolaan yang lebih profesional, lembaga bisa menumbuhkan kekuatan baru yang tidak hanya memberi manfaat kepada masyarakat, tetapi juga memperkuat posisi BMT dalam jangka panjang.

Semoga narasi ini bisa menjadi salah satu referensi untuk menggali lebih dalam potensi besar yang selama ini mungkin belum terlihat sepenuhnya.

Selama ini, nama R.A. Kartini selalu dikaitkan dengan emansipasi perempuan. Padahal, di masa yang sama, banyak tokoh perempuan Muslimah yang bukan hanya menulis gagasan, tapi mendirikan sekolah, media, pesantren, dan organisasi sosial. Mereka adalah pelaku sejarah yang nyata, bukan hanya simbol gagasan.

Berikut ini para pahlawan Muslimah sezaman Kartini yang patut lebih dikenali:


1. Rahmah El Yunusiyyah (1900–1969) – Sumatra Barat

  • Pendiri sekolah perempuan modern pertama berbasis Islam: Diniyah Putri Padang Panjang (1923).

  • Sekolahnya terkenal sampai ke luar negeri, bahkan ulama Al-Azhar pun datang belajar ke sana.

  • Mengajarkan ilmu agama, keterampilan, dan kemandirian bagi perempuan.

  • Jadi perempuan pertama dari Asia Tenggara yang mendapat penghargaan dari Al-Azhar.


2. Rohana Kudus (1884–1972) – Sumatra Barat

  • Jurnalis perempuan pertama Indonesia.

  • Mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia dan menerbitkan majalah perempuan “Soenting Melajoe”.

  • Fokus pada pendidikan, literasi, dan pemberdayaan ekonomi perempuan Minangkabau.


3. Dewi Sartika (1884–1947) – Jawa Barat

  • Mendirikan sekolah Sakola Kautamaan Istri (1904), khusus bagi perempuan pribumi.

  • Kurikulum mencakup membaca, menulis, keterampilan rumah tangga, dan kesadaran sosial.

  • Pendidikan dilakukan dalam semangat adat Sunda dan nilai Islam.


4. R.A. Lasminingrat (1854–1948) – Garut

  • Menerjemahkan buku-buku Eropa ke bahasa Sunda untuk pendidikan perempuan pribumi.

  • Mendirikan Sekolah Keutamaan Istri (1907).

  • Pionir dalam pembelajaran dengan metode lokal untuk memudahkan perempuan memahami ilmu modern.


5. Tengku Fakinah (1856–1933) – Aceh

  • Pemimpin pasukan perempuan Aceh dalam perang melawan kolonial Belanda.

  • Dikenal sebagai “Srikandi dari Tanah Rencong”.

  • Mengorganisasi perlawanan rakyat dan mendirikan basis pendidikan serta semangat jihad perempuan.


6. Raja Aisyah binti Raja Sulaiman (1870–1926) – Riau-Lingga

  • Sastrawan dan pemimpin redaksi majalah perempuan “Bintang Timor”.

  • Mempromosikan pendidikan Islam dan akhlak untuk perempuan melalui karya tulis dan terbitan Melayu.


7. Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) – Yogyakarta

  • Pendiri Aisyiyah, organisasi perempuan Islam tertua di Indonesia.

  • Memimpin pengajian perempuan, membuka sekolah-sekolah Islam untuk anak perempuan sejak 1917.

  • Memberikan ceramah umum kepada masyarakat—langka untuk perempuan pada zamannya.


Banyak Tokoh Hebat yang Dilupakan

Selain mereka, masih ada banyak Nyai Pesantren—seperti Nyai Nafisah (istri KH. Hasyim Asy’ari) dan Nyai Masruroh Munawwir—yang hidup sederhana tapi membesarkan generasi ulama besar, mengajar kitab kuning, dan mengelola pendidikan ribuan santri.


Kartini memang berperan penting dalam menyuarakan pendidikan perempuan, tapi ia bukan satu-satunya. Bahkan, banyak perempuan Muslimah lainnya melangkah lebih jauh—membangun, mengajar, memimpin, dan melawan.

Kini saatnya sejarah ditulis ulang dengan lebih adil:

Bahwa emansipasi bukan hanya gagasan Eropa, tapi telah hidup dalam ruh Islam dan budaya Nusantara, sejak lama

Setiap tahun, kita diajak mengenang sosok Kartini sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Sekolah-sekolah mengadakan upacara, anak-anak berdandan ala ningrat Jawa, dan media berlomba mengutip “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Tapi, pernahkah kita bertanya: apakah hanya Kartini yang memperjuangkan perempuan?

Padahal, sejarah mencatat satu nama besar: Siti Walidah, atau lebih dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan. Ia bukan sekadar istri dari pendiri Muhammadiyah, tapi seorang mujahidah—pejuang perempuan sejati—yang tak hanya menulis gagasan, tapi membangun gerakan nyata yang masih hidup hingga kini.

Perjuangan Nyata, Bukan Sekadar Wacana

Di tengah budaya patriarki dan kolonialisme, Nyai Walidah tak hanya duduk di balik tirai. Ia mengajar, mengorganisasi, dan menggugah kesadaran kaum perempuan untuk bangkit. Ia mendirikan kelompok pengajian perempuan “Sopo Tresno” yang kemudian berkembang menjadi Aisyiyah, organisasi perempuan Islam pertama dan tertua di Indonesia.

Di saat Kartini menulis keluh kesahnya kepada teman Belandanya, Nyai Walidah menggerakkan ribuan perempuan belajar membaca, menulis, memahami Al-Qur’an, bahkan berdakwah dan membina masyarakat. Ia menciptakan sistem, bukan hanya wacana.

Kartini Dikenang, Walidah Dilupakan

Kita tidak sedang merendahkan Kartini. Gagasannya besar. Namun, kita sedang mengingatkan bahwa ada pahlawan yang lebih nyata karyanya, namun luput dari sorotan sejarah arus utama.

Kartini wafat di usia muda. Ia memang sempat belajar tafsir kepada Kiai Sholeh Darat, tapi belum sempat menjalankan gagasan besarnya secara langsung. Sementara Nyai Walidah memimpin Aisyiyah, membangun sekolah, menyantuni anak yatim, dan mendidik kader perempuan yang tangguh—semua atas nama Islam dan cinta ilmu.

Mengembalikan Narasi

Saat dunia hanya mengenal Kartini sebagai ikon emansipasi perempuan, kita harus berani menyuarakan sosok seperti Nyai Ahmad Dahlan—perempuan Muslim yang bukan hanya berpikir, tapi bertindak nyata.

Ia adalah santriwati, pendidik, pemimpin organisasi, penggerak sosial, dan pahlawan nasional. Sebuah paket lengkap yang menunjukkan bahwa perempuan Muslimah mampu menjadi pelita umat.


✊ Saatnya Bangga pada Pahlawan Kita Sendiri

Mari kita hidupkan kembali sejarah yang adil. Sebut Kartini, tapi jangan lupa Nyai Walidah. Kenalkan mereka semua, tapi jangan tinggalkan yang paling nyata perjuangannya.

Karena perempuan Muslim tak kekurangan teladan—kita hanya sering melupakannya.

Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap muslim yang sudah baligh dan mampu. Namun, bagaimana dengan ibu menyusui? Apakah ibu menyusui harus tetap berpuasa, atau boleh menggantinya dengan qadha atau fidyah?

Dalam Islam, ibu menyusui diberikan keringanan dalam menjalankan puasa jika dikhawatirkan berdampak pada kesehatannya atau kesehatan bayi yang disusui. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang hukum puasa bagi ibu menyusui serta cara menggantinya jika tidak mampu berpuasa.

Hukum Puasa bagi Ibu Menyusui
Islam memberikan kelonggaran bagi ibu menyusui untuk tidak berpuasa jika:

Khawatir terhadap kesehatan diri sendiri → Jika puasa menyebabkan ibu menjadi lemas, pusing, dehidrasi, atau mengalami gangguan kesehatan yang dapat membahayakan dirinya.

Khawatir terhadap kesehatan bayi → Jika puasa menyebabkan ASI berkurang sehingga bayi tidak mendapatkan nutrisi yang cukup.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al-Baqarah: 185)

Dari ayat ini, ibu menyusui termasuk dalam kategori yang boleh tidak berpuasa, dengan syarat menggantinya sesuai ketentuan yang ada.

Cara Mengganti Puasa bagi Ibu Menyusui
Jika seorang ibu menyusui tidak berpuasa, ada dua cara untuk menggantinya: Qadha atau Fidyah. Berikut penjelasannya:

1. Mengqadha Puasa (Mengganti Puasa di Hari Lain)
✅ Jika ibu menyusui masih mampu berpuasa di lain waktu, maka ia wajib mengganti puasanya setelah Ramadhan, sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.

2. Membayar Fidyah (Memberi Makan Orang Miskin)
✅ Jika ibu menyusui tidak mampu mengganti puasa di kemudian hari, maka ia boleh membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

3. Qadha dan Fidyah Sekaligus
✅ Menurut sebagian ulama, jika ibu menyusui tidak berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan bayinya, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah.

Tabel Ringkasan Hukum Mengganti Puasa bagi Ibu Menyusui


Berapa Besar Fidyah yang Harus Dibayarkan?
Jika ibu menyusui memilih membayar fidyah, besaran yang harus dibayarkan adalah:

Memberi makan 1 orang miskin per hari puasa yang ditinggalkan.

Atau setara dengan 0,75 kg beras per hari.

Contoh:

Jika ibu menyusui tidak berpuasa selama 10 hari, maka ia harus memberi makan 10 orang miskin atau menyumbangkan 7,5 kg beras.

Tips agar Ibu Menyusui Bisa Berpuasa dengan Sehat
Jika ibu menyusui ingin tetap berpuasa, berikut beberapa tips agar tetap sehat dan produksi ASI tetap lancar:

✅ Perbanyak cairan saat sahur dan berbuka.

✅ Konsumsi makanan bergizi tinggi protein, lemak sehat, dan vitamin.

✅ Hindari makanan berlemak dan gula berlebih agar tidak mudah lemas.

✅ Istirahat cukup dan hindari aktivitas berat.

✅ Perhatikan kondisi tubuh dan bayi, jika merasa lemah atau bayi rewel karena kurang ASI, lebih baik tidak berpuasa.


Ibu menyusui boleh tidak berpuasa jika khawatir akan kesehatannya atau kesehatan bayi. Namun, puasa yang ditinggalkan harus diganti dengan qadha atau fidyah, tergantung pada kondisi masing-masing ibu. Jika masih mampu, mengqadha lebih utama. Namun, jika tidak memungkinkan, fidyah adalah solusinya.

Sebagai ibu, kesehatan diri sendiri dan bayi adalah prioritas utama. Jika ragu apakah bisa berpuasa atau tidak, konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi untuk mendapatkan saran terbaik.

Semoga Allah memudahkan kita semua dalam menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Aamiin.

Puasa Ramadhan adalah ibadah wajib bagi setiap muslim yang sudah baligh dan mampu. Namun, ada kondisi tertentu yang membolehkan seseorang tidak berpuasa, seperti sakit, bepergian jauh, hamil, menyusui, atau kondisi lain yang dibenarkan oleh syariat.

Lalu, bagaimana cara mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan? Apakah harus qadha (mengganti di hari lain) atau cukup dengan fidyah (memberi makan orang miskin)?

Dalam artikel ini, kita akan membahas cara mengganti puasa Ramadhan sesuai dengan kondisi yang diperbolehkan dalam Islam.


Qadha dan Fidyah dalam Islam

Dalam Islam, ada dua cara utama untuk mengganti puasa yang ditinggalkan:

  1. Qadha Puasa → Mengganti puasa yang tertinggal dengan berpuasa di hari lain setelah Ramadhan.
  2. Fidyah → Memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa yang tidak bisa dilakukan.

Masing-masing cara memiliki ketentuan tergantung dari alasan seseorang meninggalkan puasa.


1. Qadha Puasa Ramadhan

Apa Itu Qadha Puasa?

Qadha puasa adalah mengganti puasa yang ditinggalkan dengan berpuasa di hari lain setelah bulan Ramadhan. Ini berlaku bagi mereka yang masih mampu berpuasa di lain waktu.

Siapa yang Wajib Mengqadha Puasa?

Berikut adalah orang-orang yang wajib mengqadha puasa:

Orang yang sakit sementara

  • Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan dan tidak mampu berpuasa, ia wajib mengganti puasanya di hari lain setelah sembuh.

Orang yang bepergian jauh (musafir)

  • Jika seseorang dalam perjalanan jauh (minimal ±80 km) dan merasa berat untuk berpuasa, ia boleh tidak berpuasa dan menggantinya di lain hari.

Wanita haid dan nifas

  • Wanita yang sedang haid atau nifas dilarang berpuasa dan wajib mengqadha puasanya di hari lain.

Ibu hamil dan menyusui (jika mampu mengganti puasa di kemudian hari)

  • Jika ibu hamil atau menyusui merasa bisa mengganti puasanya setelah Ramadhan, maka ia wajib mengqadha.

Kapan Harus Mengqadha Puasa?

Qadha puasa sebaiknya dilakukan sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang memiliki hutang puasa Ramadhan, maka hendaklah ia mengqadhanya sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Namun, jika seseorang belum sempat mengqadha hingga bulan Ramadhan berikutnya tanpa alasan yang jelas, maka ia wajib mengqadha sekaligus membayar fidyah.


2. Membayar Fidyah untuk Mengganti Puasa

Apa Itu Fidyah?

Fidyah adalah membayar kompensasi dengan memberi makan orang miskin sebagai pengganti puasa yang tidak bisa dilakukan.

Siapa yang Boleh Mengganti Puasa dengan Fidyah?

Berikut orang-orang yang boleh mengganti puasa dengan fidyah tanpa perlu mengqadha:

Orang tua renta yang tidak mampu berpuasa

  • Jika seseorang sudah tua dan tidak mampu berpuasa lagi, maka cukup membayar fidyah tanpa qadha.

Orang sakit menahun yang tidak bisa sembuh

  • Jika seseorang mengalami penyakit kronis yang tidak memungkinkan untuk berpuasa, maka ia cukup membayar fidyah.

Ibu hamil atau menyusui yang khawatir pada bayinya

  • Jika ibu hamil atau menyusui merasa takut terhadap kesehatan bayi (bukan dirinya sendiri), maka menurut beberapa ulama ia boleh membayar fidyah tanpa harus mengqadha.

Cara Membayar Fidyah

Fidyah dapat dibayarkan dengan cara memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan.

Berapa Besaran Fidyah?

Besaran fidyah adalah setara satu porsi makanan sehari atau 0,75 kg beras per hari puasa yang ditinggalkan.

Misalnya:

  • Jika seseorang tidak berpuasa selama 10 hari, maka ia harus memberi makan 10 orang miskin atau menyumbangkan 7,5 kg beras.

Fidyah bisa diberikan dalam bentuk makanan siap saji atau beras beserta lauknya kepada fakir miskin.

Allah SWT berfirman:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.”
(QS. Al-Baqarah: 184)


3. Qadha atau Fidyah, Mana yang Harus Dipilih?

Setiap kondisi memiliki aturan tersendiri. Berikut tabel perbandingan antara Qadha dan Fidyah:

Kondisi Mengqadha Membayar Fidyah
Sakit sementara ✅ Wajib ❌ Tidak perlu
Sakit menahun ❌ Tidak perlu ✅ Wajib
Bepergian jauh ✅ Wajib ❌ Tidak perlu
Wanita haid/nifas ✅ Wajib ❌ Tidak perlu
Ibu hamil atau menyusui (khawatir kesehatan diri) ✅ Wajib ❌ Tidak perlu
Ibu hamil atau menyusui (khawatir kesehatan bayi) ✅ Menurut sebagian ulama ✅ Boleh mengganti dengan fidyah
Orang tua renta ❌ Tidak perlu ✅ Wajib

Dari tabel ini, kita bisa melihat bahwa mengqadha puasa lebih utama bagi mereka yang masih mampu, sedangkan fidyah hanya untuk yang tidak mampu berpuasa sama sekali.


Mengganti puasa Ramadhan bisa dilakukan dengan qadha atau fidyah, tergantung pada kondisi seseorang:
✅ Jika masih mampu berpuasa, wajib mengqadha.
✅ Jika tidak mampu sama sekali (seperti orang tua renta atau sakit kronis), cukup membayar fidyah.
✅ Ibu hamil atau menyusui bisa memilih qadha atau fidyah tergantung kondisinya.

Karena puasa Ramadhan adalah kewajiban, sebaiknya kita segera menggantinya sesuai dengan ketentuan yang telah dijelaskan.

Semoga Allah memudahkan kita dalam menunaikan ibadah ini. Aamiin.

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh keberkahan yang selalu dinanti oleh umat Islam di seluruh dunia. Tidak hanya sebagai bulan ibadah, tetapi juga bulan yang memiliki berbagai keutamaan. Puasa Ramadhan sendiri bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan, membersihkan jiwa, serta memperoleh banyak pahala.

Lalu, apa saja keutamaan puasa Ramadhan? Simak ulasan berikut!

1. Puasa Ramadhan adalah Perintah Allah dan Rukun Islam

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Kewajiban ini disebutkan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(QS. Al-Baqarah: 183)

Sebagai bagian dari rukun Islam, puasa Ramadhan wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang sudah baligh dan mampu.

2. Menghapus Dosa dan Mendapat Ampunan

Puasa Ramadhan tidak hanya mendidik kesabaran, tetapi juga menjadi jalan untuk mendapatkan ampunan dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Oleh karena itu, amalan di bulan Ramadhan menjadi kesempatan besar bagi setiap muslim untuk memperbaiki diri.

3. Pahala Puasa yang Tak Terbatas

Puasa adalah ibadah yang memiliki keistimewaan tersendiri. Dalam hadits qudsi, Allah berfirman:

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Pahala puasa Ramadhan tidak terbatas, karena Allah sendiri yang akan membalasnya dengan rahmat-Nya.

4. Doa Mustajab Saat Berbuka Puasa

Keutamaan puasa Ramadhan lainnya adalah doa saat berbuka puasa yang mustajab. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa hingga berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang dizalimi.”
(HR. Tirmidzi)

Jadi, jangan lupa untuk berdoa sebelum berbuka puasa karena saat itu adalah waktu yang mustajab.

5. Menjaga Kesehatan Fisik dan Mental

Secara ilmiah, puasa Ramadhan memiliki manfaat kesehatan seperti:
✅ Menjaga keseimbangan metabolisme
✅ Meningkatkan fungsi otak dan daya ingat
✅ Detoksifikasi tubuh
✅ Menurunkan risiko penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi

Selain itu, puasa juga membantu mengontrol emosi, mengurangi stres, dan meningkatkan ketenangan jiwa.

6. Puasa Ramadhan Melatih Kesabaran dan Disiplin

Dalam puasa, seseorang tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, termasuk amarah, perkataan buruk, dan perbuatan sia-sia. Ini melatih kesabaran, kedisiplinan, dan pengendalian diri, yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

7. Pintu Surga Dibuka, Pintu Neraka Ditutup

Puasa Ramadhan adalah amalan yang memiliki keistimewaan besar di sisi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ketika bulan Ramadhan tiba, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Ini menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah kesempatan emas untuk memperbanyak ibadah dan menjauhi maksiat.

8. Malam Lailatul Qadar yang Lebih Baik dari 1000 Bulan

Bulan Ramadhan menjadi semakin istimewa karena adanya Malam Lailatul Qadar, yang lebih baik dari seribu bulan. Allah berfirman:

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.”
(QS. Al-Qadr: 3)

Beribadah di malam ini akan mendapatkan pahala yang luar biasa, setara dengan ibadah selama lebih dari 83 tahun!

9. Amalan di Bulan Ramadhan Dilipatgandakan

Selain puasa, amalan bulan Ramadhan lainnya seperti shalat tarawih, sedekah, membaca Al-Qur’an, dan berbagi makanan berbuka puasa juga akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut.”
(HR. Tirmidzi)

10. Bulan yang Penuh Berkah dan Kebersamaan

Ramadhan juga dikenal sebagai bulan berbagi. Banyak orang yang berlomba-lomba untuk bersedekah, baik dengan berbagi makanan berbuka puasa, sedekah Al-Qur’an, maupun membantu mereka yang membutuhkan.

Kebersamaan dengan keluarga dan komunitas pun terasa lebih erat saat melaksanakan sahur, berbuka puasa, hingga shalat tarawih berjamaah.

Kesimpulan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh keutamaan dan berkah. Puasa Ramadhan tidak hanya melatih kesabaran, tetapi juga menjadi jalan untuk meraih pahala berlipat ganda, mendapatkan ampunan dosa, serta memperoleh kesehatan fisik dan mental.

Sudahkah kamu mempersiapkan diri untuk menyambut bulan suci ini?

Puasa Ramadhan adalah kewajiban bagi setiap Muslim, namun ada kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak bisa menjalankannya, seperti sakit kronis, usia lanjut, atau wanita hamil dan menyusui yang tidak mampu berpuasa. Jika puasa ditinggalkan dan tidak dapat diganti (qadha), maka wajib membayar fidyah.

Namun, bagaimana jika seseorang lupa berapa jumlah hari yang telah ia tinggalkan? Apakah masih wajib membayar fidyah, dan bagaimana cara menghitungnya?

Hukum Membayar Fidyah Jika Lupa Jumlah Hari yang Ditinggalkan

Menurut para ulama, jika seseorang tidak bisa mengingat dengan pasti berapa hari ia meninggalkan puasa, maka ia wajib berusaha memperkirakan jumlah hari yang paling mendekati kenyataan. Ini berdasarkan kaidah fiqih:

“Apa yang masih mungkin dikerjakan tidak gugur hanya karena ada kesulitan.”
(Al-Maysur Lā Yasqut bil-Ma’sur)

Artinya, jika seseorang tidak bisa menentukan jumlah pastinya, maka ia tetap harus berusaha membayar fidyah dengan jumlah yang paling mendekati.

Cara Menghitung Fidyah Jika Lupa Jumlah Hari yang Ditinggalkan

Berikut langkah-langkah yang dapat dilakukan:

  1. Mengingat dan Memperkirakan dengan Jujur
    Coba ingat kembali berapa hari kira-kira puasa yang ditinggalkan. Jika masih sulit, gunakan perkiraan jumlah hari maksimum yang mungkin ditinggalkan untuk berjaga-jaga.
  2. Menggunakan Pendapat Ulama dalam Penentuan Jumlah. Para ulama menyarankan untuk mengambil jumlah yang lebih aman. Misalnya, jika ragu antara 20 atau 25 hari, maka lebih baik membayar fidyah untuk 25 hari.
  3. Membayar Fidyah Sesuai Kemampuan Secara Bertahap
    Jika jumlahnya besar dan sulit dibayarkan sekaligus, fidyah bisa dibayarkan secara bertahap selama orang tersebut masih hidup.

Cara Membayar Fidyah

  1. Memberikan Makanan kepada Fakir Miskin
    Fidyah harus diberikan dalam bentuk makanan kepada fakir miskin. Cara yang bisa dilakukan: Menyediakan makanan siap santap (misalnya nasi dan lauk) sebanyak jumlah hari yang ditinggalkan.

Memberikan bahan pokok (beras) sebanyak 1 mud per hari (~750 gram beras per hari).

2. Memberikan Fidyah dalam Bentuk Uang (Pendapat Mazhab Hanafi)
Jika mengikuti mazhab Hanafi, fidyah boleh diganti dengan uang senilai makanan yang seharusnya diberikan, lalu disalurkan kepada fakir miskin.

3. Menyalurkan Fidyah Melalui Lembaga Amil Zakat
Jika sulit menyalurkan sendiri, fidyah bisa diberikan kepada Lembaga Amil Zakat yang akan menyalurkan kepada fakir miskin.

Contoh Perhitungan Fidyah

Misalkan seseorang ragu apakah ia meninggalkan 20 atau 25 hari puasa, maka:

Ia sebaiknya memilih jumlah lebih besar, yaitu 25 hari untuk berjaga-jaga.

Jika memilih bentuk beras, maka 25 × 750 gram = 18,75 kg beras diberikan kepada fakir miskin.

Jika memilih bentuk makanan siap santap, maka harus memberikan 25 porsi makanan.

Jika menggunakan pendapat mazhab Hanafi, bisa mengganti dengan uang sesuai harga makanan (misalnya Rp 28.000 per hari × 25 hari = Rp 700.000).

Mudahnya Membayar Fidyah Secara Online

Bagi Anda yang ingin menunaikan fidyah dengan lebih praktis, kini pembayaran fidyah bisa dilakukan secara online melalui lembaga terpercaya seperti BMT ANDA. Anda tidak perlu repot mencari fakir miskin sendiri, karena fidyah Anda akan disalurkan kepada yang berhak.

Mengapa Memilih BMT ANDA?

✅ Tepat Sasaran – Fidyah Anda disalurkan langsung kepada fakir miskin yang membutuhkan.
✅ Praktis dan Mudah – Bisa dilakukan kapan saja dan dari mana saja.
✅ Transparan – Anda mendapatkan laporan penyaluran fidyah.

Bayar fidyah Anda sekarang melalui BMT ANDA!
Klik di sini untuk menunaikan fidyah Anda

Jika lupa jumlah hari yang ditinggalkan, wajib memperkirakan jumlah yang paling mendekati.

  • Ambil jumlah yang lebih aman jika masih ragu.
  • Fidyah bisa dibayar dalam bentuk makanan siap santap, bahan pokok (beras), atau uang (menurut Mazhab Hanafi).
  • Bisa dibayarkan bertahap jika jumlahnya besar dan sulit dibayar sekaligus.

Untuk memudahkan pembayaran fidyah dan memastikan fidyah Anda sampai kepada fakir miskin, gunakan layanan online dari BMT ANDA. Tunaikan fidyah Anda sekarang dan raih keberkahan!