Umrah, Infaq, dan Prioritas Ibadah: Mana yang Lebih Utama?
ArtikelDi tengah meningkatnya semangat umat Islam menunaikan umrah berkali-kali, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah keutamaan ibadah diukur dari seberapa sering kita ke Tanah Suci, atau seberapa besar manfaat yang kita hadirkan bagi sesama?
Umrah memang ibadah yang mulia — menjadi impian banyak muslim untuk melihat Ka‘bah, beribadah di Masjidil Haram, dan merasakan kedamaian di tanah suci. Namun, Islam juga mengajarkan kita untuk menempatkan prioritas ibadah secara bijak.
Apakah lebih utama mengulang umrah, atau menginfakkan harta kita untuk membantu mereka yang membutuhkan?
1. Umrah: Ibadah yang Mulia tapi Tidak Wajib Diulang
Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan umrah empat kali. Namun, para ulama menjelaskan bahwa umrah tidak wajib dilakukan berkali-kali.
Sekali seumur hidup sudah mencukupi, karena setelah itu hukumnya sunnah.
Artinya, jika seseorang sudah menunaikan umrah dan memiliki kelebihan rezeki, maka tidak ada kewajiban baginya untuk terus mengulanginya.
Apalagi jika di sekitarnya masih banyak saudara Muslim yang kesulitan — yang hidup dalam kekurangan, kelaparan, atau berjuang demi bertahan hidup.
2. Infaq: Ibadah yang Dampaknya Lebih Luas
Berbeda dengan umrah, infaq dan sedekah sering kali memiliki dampak sosial yang jauh lebih besar.
Melalui infaq, seseorang bisa:
-
Menyantuni anak yatim,
-
Membantu dhuafa berobat,
-
Menyediakan makanan bagi yang kelaparan,
-
Atau menyelamatkan keluarga dari utang dan kesulitan hidup.
Islam tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial yang menumbuhkan kasih sayang dan kepedulian antar sesama.
Allah berfirman:
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai.”
(QS. Ali Imran: 92)
Ayat ini menegaskan bahwa puncak kebaikan bukan pada ibadah yang mudah dilakukan, tetapi pada kerelaan mengorbankan sesuatu yang kita cintai untuk kepentingan orang lain.
3. Dalil: Menolong Orang Lebih Baik dari I‘tikaf di Masjid Nabawi
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya (Muslim), maka itu lebih baik baginya daripada ber-i‘tikaf di masjidku ini (Masjid Nabawi) selama satu bulan.”
(HR. Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jaami‘ no. 176)
Masjid Nabawi adalah tempat yang amat mulia. Jika menolong orang lain saja lebih utama daripada i‘tikaf sebulan di Masjid Nabawi, maka tentu menolong orang yang sangat membutuhkan lebih bernilai di sisi Allah daripada ibadah sunnah yang hanya memberi manfaat bagi diri sendiri.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruquthni)
Dan Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an:
“… tetapi kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta…”
(QS. Al-Baqarah: 177)
Ibnul Qayyim rahimahullah menulis dalam Madarij as-Salikin (1/317):
“Menunaikan hajat manusia, memberi manfaat kepada mereka, dan menghilangkan kesusahan mereka lebih dicintai Allah daripada ibadah yang hanya bermanfaat bagi pelakunya sendiri.”
4. Menempatkan Prioritas dengan Bijak
Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial.
Bukan berarti umrah tidak perlu — tapi kita perlu menempatkan prioritas sesuai dengan keadaan.
Jika seseorang belum pernah umrah dan Allah memberinya kemampuan, maka berangkatlah — karena itu ibadah yang mulia dan memperkuat iman.
Namun, bila sudah berkali-kali umrah sementara di sekitarnya masih banyak yang kesulitan, maka menginfakkan harta untuk membantu mereka bisa menjadi pilihan yang lebih utama dan lebih dicintai Allah.
Tulisan ini bukan untuk menyepelekan keutamaan umrah, melainkan mengajak kita menata niat dan menimbang prioritas agar ibadah sunnah tidak menutupi kewajiban sosial yang lebih mendesak.
Umrah menyucikan hati, infaq menyucikan harta.
Keduanya adalah ibadah yang agung, namun dalam konteks umat yang masih banyak menderita, ibadah sosial sering kali lebih mendesak dan lebih berpahala besar.
Sebab, Allah tidak hanya melihat berapa lama kita berada di Tanah Suci — tetapi seberapa besar manfaat yang kita hadirkan untuk sesama di sekitar kita.
Karena perjalanan menuju ridha Allah tidak selalu dimulai dari Masjidil Haram —
kadang dimulai dari tangan yang menolong saudara di kampung sendiri.



