Entries by ULAZ MKU BMT ANDA

Kopi Halal, Tapi Waktu Itu Amanah

 

Dulu, Kopi Adalah Teman Ibadah dan Ilmu

Dalam sejarah Islam, kopi bukan sekadar minuman pengusir kantuk.
Ia lahir dari semangat ibadah.
Pada abad ke-15, para sufi di Yaman meminum kopi agar kuat beribadah malam (qiyamullail) dan fokus berdzikir kepada Allah.

Kopi lalu menyebar ke Makkah, Mesir, dan Istanbul.
Di masa itu, kopi menjadi teman bagi ulama dan pelajar yang mengkaji kitab hingga larut malam.
Kedai kopi pertama di dunia bahkan dikenal sebagai tempat diskusi ilmu, bukan tempat buang waktu.

Kopi dulu adalah “bahan bakar spiritual” —
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar gaya hidup.


Sekarang, “Ngopi” yang Kehilangan Makna

Kini, makna ngopi bergeser jauh.
Kopi yang dulu menyalakan semangat ibadah, kini sering jadi simbol hiburan dan pelarian.

Kedai kopi menjamur di setiap sudut kota.
Banyak orang duduk berjam-jam di sana, bukan untuk berdiskusi atau belajar, melainkan sekadar menghabiskan waktu — ditemani gawai dan obrolan ringan.

Kopi tetap halal.
Ngobrol juga bukan dosa.
Namun, Islam mengajarkan kita untuk menilai setiap waktu yang kita habiskan.

Apakah ia mendekatkan kita pada kebaikan,
atau justru menjauhkan dari tujuan hidup yang hakiki?


Waktu: Amanah yang Akan Ditanya

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya: kesehatan dan waktu luang.
(HR. Bukhari)

Waktu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Bahkan jika kita tidak berbuat dosa, tapi juga tidak melakukan hal bermanfaat, itu tetap termasuk kerugian.

Allah SWT berfirman:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih,
dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.”
(QS. Al-‘Ashr: 1–3)

Kopi halal, tapi waktu luang yang dibiarkan tanpa makna bisa menjadi musibah yang tak terlihat.
Kita kehilangan kesempatan berbuat baik tanpa sadar.


Ngopi Bisa Jadi Ibadah — Kalau Diniatkan dengan Benar

Islam tidak melarang menikmati hidup.
Bahkan, ngopi bisa menjadi ibadah jika disertai niat yang benar.

✅ Ngopi sambil silaturahmi dan saling menasihati.
✅ Ngopi sambil berdiskusi ilmu dan ide kebaikan.
✅ Ngopi sambil menenangkan diri dan merenung tentang hidup.

Itulah ngopi yang berpahala — bukan karena kopinya, tapi karena niat dan arah manfaatnya.

Namun, jika ngopi hanya untuk menghabiskan waktu, membicarakan orang lain, atau melupakan ibadah,
kita sedang menukar amanah Allah dengan kesia-siaan.


Sering terdengar kalimat seperti:

“Uang saya sendiri, terserah mau saya buat ngopi.
Kan halal, cuma ngobrol sama teman.”

Benar, halal. Tapi Islam mengajarkan bahwa semua yang kita miliki — termasuk waktu, tenaga, dan harta — adalah titipan Allah.
Kita bebas menggunakannya, tapi akan tetap dimintai pertanggungjawaban.

Ngopi bukan masalah, tapi ketika waktu, tenaga, dan harta bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih bernilai,
apakah bijak jika kita terus menukar waktu berharga dengan kesenangan sesaat?


Renungan: Ulama Dulu Ngopi untuk Ibadah, Kita Ngopi untuk Apa?

Ulama dan pelajar Islam dulu menjadikan kopi sebagai sarana menjaga semangat.
Mereka ngopi agar kuat beribadah dan menambah ilmu.
Kita hari ini — apakah ngopi kita masih punya arah yang sama?

Kopi halal, tapi waktu itu mahal.
Setiap tegukan seharusnya mengingatkan kita:
hidup ini singkat, dan setiap detik adalah peluang untuk menanam amal jariyah.

“Kopi bisa jadi ibadah,
tapi hanya jika ia membuatmu lebih dekat kepada Allah.”


Kopi bukan musuh.
Yang perlu diwaspadai adalah kelalaian di antara tegukannya.
Gunakan waktu untuk hal-hal yang mendekatkan kita pada Allah, memperbaiki diri, dan menebar manfaat bagi sesama.

Karena sejatinya, bukan seberapa sering kita ngopi,
tapi seberapa berarti waktu yang kita habiskan.

Umrah, Infaq, dan Prioritas Ibadah: Mana yang Lebih Utama?

Di tengah meningkatnya semangat umat Islam menunaikan umrah berkali-kali, muncul pertanyaan yang patut direnungkan: apakah keutamaan ibadah diukur dari seberapa sering kita ke Tanah Suci, atau seberapa besar manfaat yang kita hadirkan bagi sesama?

Umrah memang ibadah yang mulia — menjadi impian banyak muslim untuk melihat Ka‘bah, beribadah di Masjidil Haram, dan merasakan kedamaian di tanah suci. Namun, Islam juga mengajarkan kita untuk menempatkan prioritas ibadah secara bijak.

Apakah lebih utama mengulang umrah, atau menginfakkan harta kita untuk membantu mereka yang membutuhkan?


1. Umrah: Ibadah yang Mulia tapi Tidak Wajib Diulang

Rasulullah ﷺ pernah melaksanakan umrah empat kali. Namun, para ulama menjelaskan bahwa umrah tidak wajib dilakukan berkali-kali.
Sekali seumur hidup sudah mencukupi, karena setelah itu hukumnya sunnah.

Artinya, jika seseorang sudah menunaikan umrah dan memiliki kelebihan rezeki, maka tidak ada kewajiban baginya untuk terus mengulanginya.
Apalagi jika di sekitarnya masih banyak saudara Muslim yang kesulitan — yang hidup dalam kekurangan, kelaparan, atau berjuang demi bertahan hidup.


2. Infaq: Ibadah yang Dampaknya Lebih Luas

Berbeda dengan umrah, infaq dan sedekah sering kali memiliki dampak sosial yang jauh lebih besar.
Melalui infaq, seseorang bisa:

  • Menyantuni anak yatim,

  • Membantu dhuafa berobat,

  • Menyediakan makanan bagi yang kelaparan,

  • Atau menyelamatkan keluarga dari utang dan kesulitan hidup.

Islam tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga ibadah sosial yang menumbuhkan kasih sayang dan kepedulian antar sesama.

Allah berfirman:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari harta yang kamu cintai.”
(QS. Ali Imran: 92)

Ayat ini menegaskan bahwa puncak kebaikan bukan pada ibadah yang mudah dilakukan, tetapi pada kerelaan mengorbankan sesuatu yang kita cintai untuk kepentingan orang lain.


3. Dalil: Menolong Orang Lebih Baik dari I‘tikaf di Masjid Nabawi

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barangsiapa berjalan untuk memenuhi kebutuhan saudaranya (Muslim), maka itu lebih baik baginya daripada ber-i‘tikaf di masjidku ini (Masjid Nabawi) selama satu bulan.”
(HR. Thabrani, dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jaami‘ no. 176)

Masjid Nabawi adalah tempat yang amat mulia. Jika menolong orang lain saja lebih utama daripada i‘tikaf sebulan di Masjid Nabawi, maka tentu menolong orang yang sangat membutuhkan lebih bernilai di sisi Allah daripada ibadah sunnah yang hanya memberi manfaat bagi diri sendiri.

Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruquthni)

Dan Allah juga menegaskan dalam Al-Qur’an:

“… tetapi kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, dan orang yang meminta-minta…”
(QS. Al-Baqarah: 177)

Ibnul Qayyim rahimahullah menulis dalam Madarij as-Salikin (1/317):

“Menunaikan hajat manusia, memberi manfaat kepada mereka, dan menghilangkan kesusahan mereka lebih dicintai Allah daripada ibadah yang hanya bermanfaat bagi pelakunya sendiri.”


4. Menempatkan Prioritas dengan Bijak

Islam mengajarkan keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial.

Bukan berarti umrah tidak perlu — tapi kita perlu menempatkan prioritas sesuai dengan keadaan.

Jika seseorang belum pernah umrah dan Allah memberinya kemampuan, maka berangkatlah — karena itu ibadah yang mulia dan memperkuat iman.
Namun, bila sudah berkali-kali umrah sementara di sekitarnya masih banyak yang kesulitan, maka menginfakkan harta untuk membantu mereka bisa menjadi pilihan yang lebih utama dan lebih dicintai Allah.

Tulisan ini bukan untuk menyepelekan keutamaan umrah, melainkan mengajak kita menata niat dan menimbang prioritas agar ibadah sunnah tidak menutupi kewajiban sosial yang lebih mendesak.


Umrah menyucikan hati, infaq menyucikan harta.
Keduanya adalah ibadah yang agung, namun dalam konteks umat yang masih banyak menderita, ibadah sosial sering kali lebih mendesak dan lebih berpahala besar.

Sebab, Allah tidak hanya melihat berapa lama kita berada di Tanah Suci — tetapi seberapa besar manfaat yang kita hadirkan untuk sesama di sekitar kita.
Karena perjalanan menuju ridha Allah tidak selalu dimulai dari Masjidil Haram —
kadang dimulai dari tangan yang menolong saudara di kampung sendiri.

Sedekah Al-Qur’an: Kebaikan Anda Menyala di Tiga Penjuru

Laporan Penyaluran Donasi Program Sedekah Al-Qur’an — Periode September–Oktober 2025


🕋 Bersama Anda, Kebaikan yang Terus Tumbuh

Program Sedekah Al-Qur’an ULAZ MKU ANDA menyalurkan 50 mushaf ke 3 lembaga pendidikan Islam di Mranggen dan Gunungpati. Simak kisah santri yang menerima manfaat dan harapan mereka.


📖 Cahaya dari Mushaf Baru

Setiap halaman Al-Qur’an yang dibuka adalah cahaya, dan setiap huruf yang dibaca adalah doa yang mengalir untuk para donatur.
Alhamdulillah, pada September–Oktober 2025, ULAZ MKU ANDA melalui tim relawan — Andhy, Mahatma, Ahnaf, dan Hana — telah menyalurkan 50 eksemplar Al-Qur’an ke tiga lembaga pendidikan Islam di Jawa Tengah.

Lokasi Penyaluran:

📍 Pondok Pesantren Al-Islah, Mranggen – 20 mushaf
📍 Panti Asuhan Irsyadul Hasan, Mranggen – 30 mushaf
📍 TPQ Yayasan Miftakhul Khoiriyah Al Amin, Kendal – 10 mushaf


🕌 Mushaf Baru, Semangat Baru

Di Pondok Pesantren Al-Islah Mranggen, sebanyak 42 santri menerima mushaf baru dengan penuh suka cita. Sebelumnya, banyak mushaf di sana yang sudah lusuh dan sulit dibaca. Pengasuh berharap ke depan santri bisa mendapatkan Al-Qur’an Hafalan per 3 juz agar lebih mudah dalam proses tahfidz.

Sementara itu, di Panti Asuhan Irsyadul Hasan Mranggen, 45 santri menyambut kedatangan relawan dengan senyum hangat. Penyaluran dilakukan sebelum salat Jumat, di tengah suasana yang khidmat. Pengasuh berharap ke depan lembaga bisa memiliki fasilitas usaha mandiri untuk menopang biaya operasional panti dan pendidikan anak-anak.

Di TPQ Yayasan Miftakhul Khoiriyah Al Amin Kendal, penyaluran dilakukan setelah ashar menjelang ngaji sore. Sekitar 30 santri kecil duduk rapi menyambut Al-Qur’an baru mereka. Mereka berharap suatu hari TPQ mereka bisa memiliki papan tulis dan kipas angin, agar kegiatan belajar mengaji semakin nyaman dan menyenangkan.


🤲 Doa yang Mengalir untuk Para Donatur

Setiap penyaluran selalu diakhiri dengan momen yang menyentuh hati.
Para santri dan pengasuh mendoakan seluruh donatur dengan tulus —

“Semoga para dermawan senantiasa diberi kesehatan, rezeki yang lapang, usaha yang sukses, hajat hajatnya terkabul, dan keluarga yang selalu dilindungi oleh Allah SWT.”

Mereka percaya, setiap mushaf yang mereka pegang hari ini adalah hasil dari tangan-tangan baik yang Allah gerakkan melalui para donatur ULAZ MKU ANDA.


Program Sedekah Al-Qur’an masih terus berjalan.
Melalui program ini, setiap donatur bisa membantu ribuan santri dan anak TPQ di pelosok negeri agar memiliki mushaf layak baca.

💝 Hanya dengan Rp100.000, Anda bisa menghadirkan 1 mushaf baru untuk satu santri.
Bayangkan, setiap huruf yang mereka baca menjadi pahala jariyah yang mengalir untuk Anda — selamanya.


ULAZ MKU ANDA mengucapkan terima kasih kepada seluruh donatur atas kepercayaannya.
Setiap Al-Qur’an yang sampai ke tangan santri adalah bukti nyata bahwa kebaikan kecil bisa menyalakan cahaya besar.

📌 Mari terus bersama dalam #KebaikanYangTerusTumbuh
Karena setiap mushaf yang terbuka, setiap doa yang terlantun, adalah pahala yang kembali untuk Anda.


🔗 Tentang Program Sedekah Al-Qur’an

Program ini merupakan salah satu kegiatan rutin ULAZ MKU ANDA (Unit Layanan Zakat BMT ANDA) yang berfokus pada dakwah dan pemberdayaan umat. Melalui dukungan para donatur, ribuan santri, guru ngaji, dan lembaga pendidikan Islam telah menerima mushaf baru, Iqro’, dan bantuan sarana belajar.

BANTUAN ANDA MENJADI NAFAS BAGI WARGA GAZA

Laporan Penyaluran Donasi Palestina – September 2025


Alhamdulillah, di tengah kondisi Gaza yang kian memprihatinkan, donasi yang Anda titipkan melalui ULAZ MKU ANDA telah sampai kepada saudara-saudara kita di Palestina. Bantuan ini menjadi cahaya di tengah kegelapan, menjadi nafas di tengah kepungan krisis kemanusiaan.

🌍 Kondisi Gaza Saat Ini

Lebih dari 2 juta jiwa mengungsi, sementara 74% wilayah Gaza City hancur akibat agresi. Mereka hidup dalam keterbatasan air bersih, pangan, sanitasi, dan layanan kesehatan. Anak-anak, ibu, hingga lansia berjuang setiap hari hanya untuk sekadar bertahan hidup.

📦 Penyaluran Bantuan Donasi

Berkat dukungan Anda, pada 20–21 September 2025, tim lapangan menyalurkan bantuan di berbagai titik Gaza City: Al Shifa Medical Complex, Tal Al-Hawa, Al-Mina, Al-Nasr, Sheikh Ajleen, Ansar, hingga Union of Churches Area.

  1. 20 September 2025 – Distribusi 400 porsi hotmeals kepada 400 penerima manfaat.

  2. 21 September 2025 – Distribusi 40.000 liter air bersih untuk 2.500 penerima manfaat.

👉 Total penerima manfaat: 2.900 jiwa.

🧡 Suara dari Gaza

Dalam kondisi yang sulit, para penerima manfaat menyampaikan doa terbaik untuk para donatur di Indonesia:
“Semoga Allah menjaga kesehatan, memberikan kelapangan rezeki, dan melipatgandakan pahala bagi setiap donatur yang telah peduli kepada kami.”

🤲 Mari Terus Bersama Palestina

Bantuan yang tersalurkan ini hanyalah setetes di lautan kebutuhan besar warga Gaza. Mereka masih sangat membutuhkan suplai makanan, air, obat-obatan, dan layanan darurat.

📌 Donasi untuk Palestina masih terus dibuka.
Mari terus hadirkan harapan bagi mereka yang terzalimi. Karena setiap rupiah yang Anda titipkan, menjadi nafas, senyum, dan doa dari saudara kita di Gaza.

Klik : 

DONASI UNTUK PALESTINA

untuk donasi


💚 Terima kasih, para donatur. Bersama kita kuatkan #KebaikanYangTerusTumbuh dan terus membersamai Palestina hingga Allah hadirkan kemenangan.

Kolaborasi, Belajar dari Kapal yang Bocor hingga Fabel Klasik

Dalam sebuah organisasi, rapat sering kali menjadi ruang bertemunya berbagai ide lintas divisi. Ada kalanya seseorang dari satu bagian menyampaikan masukan untuk bagian lain, karena melihat adanya peluang efisiensi atau perbaikan. Namun, tidak jarang yang muncul justru kalimat: “Fokus saja pada bagianmu, jangan mencampuri bagian lain.”

Sekilas terdengar wajar, tetapi pandangan ini berisiko membuat organisasi berjalan dalam sekat-sekat kaku. Padahal, tidak ada divisi yang benar-benar berdiri sendiri. Setiap bagian selalu saling terhubung, dan keputusan satu divisi akan berpengaruh pada keseluruhan lembaga.

Dalam konteks inilah, ada baiknya kita merenungkan kembali kisah-kisah hikmah, baik dari literatur Islam maupun fabel klasik, yang sejak lama mengajarkan bahwa kolaborasi bukan pilihan, melainkan keharusan.


Kapal yang Bocor: Sebuah Tanggung Jawab Kolektif

Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis sahih riwayat Bukhari, bahwa manusia seperti penumpang kapal. Sebagian berada di atas, sebagian di bawah. Orang-orang di bawah merasa repot jika harus naik setiap kali mengambil air, maka mereka ingin melubangi lantai kapal.

Jika orang-orang di atas membiarkan, kapal akan bocor dan semua binasa. Namun jika mereka mencegahnya, seluruh penumpang akan selamat.

🔑 Pesan moralnya jelas: keselamatan bersama tidak bisa dilepaskan pada satu bagian saja. Ketika ada keputusan atau tindakan yang membahayakan, semua punya kewajiban untuk menegur, memperbaiki, dan mencari solusi.

Dalam lembaga modern, ini artinya setiap divisi berhak dan berkewajiban memberi masukan—bukan untuk menguasai, tapi untuk menyelamatkan kapal besar bernama organisasi.


Tubuh dan Bangunan: Saling Menguatkan, Bukan Memisahkan

Nabi Muhammad ﷺ juga memberikan perumpamaan yang indah:

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam kasih sayang, cinta, dan empati adalah seperti satu tubuh; bila satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakan dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain, beliau menggambarkan umat seperti bangunan yang saling menguatkan, lalu beliau merapatkan jari-jarinya.

🔑 Pesannya: sebuah sistem hanya bisa kuat jika semua bagian saling menopang. Divisi keuangan tidak bisa berjalan jika pemasaran terguncang. Operasional tidak bisa berkembang jika komunikasi publik lemah. Begitu juga sebaliknya.


Tongkat dan Sapi: Pelajaran dari Fabel Klasik

Pesan serupa juga hadir dalam fabel klasik.

Dalam kisah Aesop, seorang ayah memberikan seikat tongkat kepada anak-anaknya. Saat diikat jadi satu, tidak ada yang bisa mematahkannya. Namun saat dilepaskan, tongkat-tongkat itu mudah dipatahkan.

Dalam kisah lain, ada empat ekor sapi yang selalu bersama sehingga singa tidak berani mendekat. Namun ketika mereka bertengkar dan berpencar, singa dengan mudah memangsa mereka satu per satu.

🔑 Pesannya sederhana: kekuatan bukan terletak pada bagian, tetapi pada kebersamaan. Ketika divisi di sebuah lembaga saling menjaga jarak dan merasa “cukup dengan urusannya sendiri”, organisasi menjadi rapuh.


Gajah dan Orang Buta: Perspektif yang Harus Dilengkapi

Cerita dari India kuno mengisahkan sekelompok orang buta yang menyentuh seekor gajah. Yang memegang belalainya berkata, “Gajah itu seperti ular.” Yang memegang kakinya berkata, “Gajah itu seperti pohon.” Yang memegang telinganya berkata, “Gajah itu seperti kipas.”

Semua pendapat benar, tapi hanya sebagian. Tanpa saling mendengarkan dan menyatukan perspektif, gambaran utuh tidak akan pernah muncul.

🔑 Pesannya: setiap divisi dalam organisasi ibarat orang buta yang memegang bagian gajah berbeda. Mereka melihat dari sudut pandang masing-masing. Justru dengan menggabungkan sudut pandang itu, lembaga bisa melihat gambaran utuh dan mengambil keputusan yang tepat.


Tantangan Menerima Masukan

Namun, mari kita jujur: menerima masukan memang tidak mudah. Hampir setiap orang, apalagi yang memiliki tanggung jawab besar, bisa merasa seolah dirinya sedang disalahkan atau dituduh keliru. Naluri manusiawi adalah membela diri, mencari kebenaran versi masing-masing, atau bahkan menolak dengan alasan menjaga wibawa.

Padahal, masukan sejatinya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menjaga agar keseluruhan lembaga tidak terguncang. Sebagaimana perumpamaan kapal dalam hadis, menegur orang yang ingin melubangi kapal bukan berarti mempermalukan, tetapi menyelamatkan semua penumpang.

Di sinilah nilai tawāshau bil-haqq (saling menasihati dalam kebenaran) menemukan maknanya. Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-‘Ashr:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.”

Masukan lintas divisi, jika dilihat dengan hati terbuka, adalah bagian dari upaya saling menasihati dalam kebenaran. Mungkin terasa tidak nyaman di awal, tetapi pada akhirnya justru menjaga semua pihak agar tidak terjatuh dalam kerugian yang lebih besar.


Dari Ego Menuju Kolaborasi

Kisah-kisah di atas—baik dari hadis Nabi ﷺ, literatur Islam, maupun fabel klasik—berbicara hal yang sama: bahwa setiap bagian dalam sebuah sistem saling terhubung.

  • Kapal bocor karena satu bagian, seluruh penumpang tenggelam.

  • Tubuh sakit di satu anggota, seluruh badan ikut lemah.

  • Tongkat rapuh saat terpisah, tapi kuat saat terikat.

  • Sapi selamat saat bersama, tapi musnah saat berpencar.

  • Orang buta salah tafsir gajah jika tak mau mendengarkan yang lain.

Organisasi modern pun demikian. Menutup diri dengan alasan “ini bukan urusanmu” justru memperlemah. Sementara membuka ruang dialog dan kolaborasi akan memperkuat, mengefisiensikan, dan bahkan menyelamatkan lembaga dari kebocoran yang tidak terlihat.

Rapat pimpinan seharusnya bukan tempat untuk mengkotak-kotakkan urusan, tetapi ruang dialog untuk memastikan kapal tetap utuh, tubuh tetap sehat, dan tongkat tetap kokoh.

Jika kisah-kisah hikmah ribuan tahun lalu masih relevan hingga hari ini, artinya pesan utamanya tidak pernah lekang: kolaborasi adalah jalan keselamatan.

Hidup Seimbang Dunia Akhirat? Kuncinya Ada pada Al-Qur’an

Oleh : Dr. Sri Praptono, S.Sos, M.M
Ketua Pengurus KSPPS Mitra Anda Sejahtera
Ditulis ulang oleh : Mahatma Yusuf

Setiap muslim mendambakan hidup yang seimbang: sukses di dunia tanpa melupakan bekal akhirat. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia…”
(QS. Al-Qashash: 77)

Ayat ini menunjukkan bahwa dunia dan akhirat sama-sama penting, dan keduanya ada ilmunya. Dunia dikelola dengan ilmu, dan akhirat pun diraih dengan ilmu. Namun, agar setiap langkah kita bernilai amal shalih, rutinitas harian harus dibingkai dengan niat ibadah. Inilah mengapa setiap aktivitas sebaiknya diawali dengan basmalah dan niat ikhlas. Dengan begitu, makan, bekerja, atau bahkan sekadar tersenyum bisa bernilai pahala.


Qur’an sebagai Panduan Hidup Seimbang

Lalu, dari mana kita belajar menyeimbangkan dunia dan akhirat? Jawabannya adalah Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah mukjizat kalamullah yang diturunkan ke qalbu Rasulullah ﷺ secara mutawatir. Membacanya saja sudah bernilai ibadah. Namun, interaksi dengan Qur’an tidak seharusnya berhenti di kegiatan membaca saja. Ada tahapan yang lebih dalam: mentadabburi, mempelajari, hingga mengamalkan.

Dengan tadabbur, kita menemukan makna yang menuntun kehidupan. Misalnya, memahami asbâbun nuzûl surat Adh-Dhuha mengajarkan optimisme saat menghadapi kesulitan, sementara surat Al-Kautsar menumbuhkan rasa syukur di tengah limpahan nikmat. Dari sini kita melihat: Qur’an bukan sekadar bacaan, tapi pedoman nyata untuk menyeimbangkan hati, pikiran, dan langkah.


Jalan Perbaikan: Keteladanan dan Pengajaran

Jika Qur’an adalah pedoman, maka cara kita meresponsnya adalah dengan senantiasa memperbaiki diri. Agenda besar seorang muslim adalah perbaikan terus-menerus, yang minimal dapat ditempuh melalui dua jalan:

  1. Keteladanan. Rasulullah ﷺ adalah teladan terbaik (QS. Al-Ahzab: 21). Maka, setiap muslim perlu berusaha mematutkan diri agar bisa dicontoh orang lain. Inilah makna ungkapan Jawa, “Guru: digugu lan ditiru.”

  2. Pengajaran, dengan Al-Qur’an sebagai Rujukan Utama

    Seorang Muslim sejatinya harus menjadikan Al-Qur’an sebagai guru sejati dalam kehidupannya. Bukan hanya dibaca dan dihafal, tetapi juga dipahami dan dijadikan pedoman dalam setiap langkah. Allah ﷻ menegaskan bahwa ilmu yang benar berasal dari-Nya. Sebagaimana dalam kisah Nabi Adam `alayhissalam, Allah berfirman:

    “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.”
    (QS. Al-Baqarah: 31)

    Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu sejati bersumber dari Allah, dan salah satu jalan utama untuk memperolehnya adalah melalui Al-Qur’an. Maka seorang Muslim harus membuka diri untuk diajari oleh Al-Qur’an: menerima bimbingan, arahan, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

    Ketika hati tunduk pada pengajaran Al-Qur’an, seorang Muslim akan memperoleh hikmah dan pemahaman yang melampaui sekadar logika manusia. Dari sini lahirlah pribadi yang berakhlak, berilmu, dan berwawasan luas, karena ia mengacu pada sumber ilmu yang tidak terbatas.


Buah dari Interaksi Intensif dengan Qur’an

Ketika keteladanan dan pengajaran berangkat dari Qur’an, hidup akan menemukan keseimbangannya. Orang yang intens berinteraksi dengan Qur’an akan:

  • Meraih ketenangan hati, karena Qur’an adalah syifa’ (obat penenang jiwa).

  • Diangkat derajatnya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dan merendahkan kaum yang lain dengannya.” (HR. Muslim).

  • Menjalani hidup seimbang dunia dan akhirat, karena setiap langkah dipandu oleh wahyu.


Khataman Qur’an bukan sekadar menandai akhir dari bacaan, tetapi momentum untuk melangkah lebih jauh: memperbanyak interaksi dengan Qur’an, memperdalam tadabbur, memperbaiki diri melalui keteladanan, dan menyebarkan ilmu dengan ikhlas.

Dengan Al-Qur’an sebagai pedoman, setiap rutinitas bisa berubah menjadi ibadah, setiap langkah menjadi amal shalih, dan setiap usaha membawa kita menuju keseimbangan: sukses dunia sekaligus bahagia di akhirat.

Cara Bijak Menghadapi Krisis Ekonomi Menurut Islam

Beberapa tahun terakhir, kondisi ekonomi global maupun nasional semakin terasa berat. Inflasi, harga kebutuhan pokok naik, PHK massal, hingga ketidakpastian politik dan geopolitik, semuanya memberi dampak langsung kepada masyarakat. Para pakar ekonomi memprediksi, lima tahun ke depan tidak akan mudah. Banyak keluarga kelas menengah bisa terperosok menjadi golongan miskin jika tidak bijak dalam mengelola keuangan.

Namun, sebagai seorang muslim, kita diajarkan untuk tetap tenang, realistis, dan penuh harap kepada Allah. Islam mengajarkan keseimbangan: berusaha secara duniawi dengan perencanaan yang matang, sambil memperkuat ikhtiar ukhrowi yang mengundang pertolongan Allah.

Lalu, apa saja yang sebaiknya kita lakukan? Mari kita bahas dua sisi ikhtiar ini.


1️⃣ Ikhtiar Duniawi: Langkah Bijak Mengelola Uang

Kita tidak bisa mengendalikan keadaan ekonomi global, tetapi kita bisa mengendalikan cara kita mengelola uang dan usaha. Berikut beberapa langkah penting:

1. Stop Menambah Hutang Baru, Segera Lunasi Hutang Lama

Hutang adalah beban. Saat penghasilan turun, cicilan bisa menjadi jebakan. Kurangi atau hentikan utang konsumtif, dan prioritaskan melunasi hutang lama agar lebih tenang secara finansial.

2. Fokus pada Usaha yang Ada

Banyak orang tergoda untuk ekspansi bisnis ketika melihat peluang. Namun, kondisi ekonomi yang tidak stabil membuat langkah itu penuh risiko. Lebih aman memperkuat usaha yang sudah berjalan daripada memaksakan membuka cabang baru.

3. Jangan Sembarangan Meminjamkan Uang

Membantu orang lain itu baik, tetapi dalam situasi sulit, menjaga ketahanan finansial keluarga sendiri lebih utama. Jika ingin membantu, bisa dengan sedekah atau cara lain yang tidak mengganggu cash flow.

4. Waspada Investasi dan Penipuan Berkedok Bisnis

Banyak penipu berpenampilan meyakinkan yang menawarkan “investasi pasti untung”. Ingat prinsipnya: semakin tinggi janji keuntungan, semakin besar risikonya. Jangan mudah percaya tanpa riset mendalam.

5. Hindari Trading Spekulatif

Trading harian crypto, forex, atau saham membuat banyak orang bangkrut. Ingat, saham lebih aman diperlakukan sebagai investasi jangka panjang pada perusahaan yang sehat, bukan ajang spekulasi cepat kaya.

6. Jangan Masuk Bisnis yang Tidak Dikuasai

Tren usaha seringkali menggoda. Namun, terjun ke bisnis tanpa pengetahuan hanya akan berakhir rugi. Pastikan memiliki ilmu dan pengalaman sebelum memulai bidang baru.

7. Tahan Gaya Hidup

Banyak keluarga kelas menengah jatuh miskin bukan karena kurang penghasilan, tapi karena gaya hidup boros. Tidak perlu ganti mobil, tidak perlu pamer. Kurangi pemborosan dan perbanyak tabungan.

👉 Prinsip utama dari ikhtiar duniawi adalah: selamat dulu, baru sukses.


2️⃣ Ikhtiar Ukhrowi: Amalan Pembuka Pintu Rezeki

Selain ikhtiar duniawi, ada ikhtiar ukhrowi yang sama pentingnya. Justru, inilah yang bisa membuat hati tenang, penuh harapan, dan membuka jalan pertolongan Allah.

1. Perbanyak Istighfar

Allah berfirman dalam QS. Nuh: 10–12, istighfar bukan hanya menghapus dosa, tapi juga mendatangkan rezeki, hujan, harta, anak, dan keberkahan hidup.

2. Shalat Sunnah & Doa

Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa menjaga shalat duha, maka akan dicukupkan rezekinya.” (HR. Tirmidzi). Jangan lupakan doa memohon kecukupan (al-ghinâ) dan keberkahan, karena doa adalah senjata orang beriman.

3. Sedekah Rutin

Allah menegaskan: “Apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya.” (QS. Saba: 39).
Sedekah bukan soal jumlah besar, tapi soal keikhlasan. Sedikit namun rutin lebih baik daripada banyak tapi sesekali.

4. Jujur & Amanah dalam Muamalah

Dalam hadits disebutkan: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang shiddiq, dan para syuhada.” (HR. Tirmidzi).
Rezeki halal yang berkah lebih menenangkan daripada harta banyak tapi penuh kecurangan.

5. Syukur & Qana’ah

Allah berfirman: “Jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah (nikmatmu).” (QS. Ibrahim: 7).
Bersyukur membuat hati tenang, qana’ah membuat kita merasa cukup, dan keduanya mendatangkan keberkahan.

6. Perbanyak Shalawat

Shalawat membuka jalan pertolongan Allah, melapangkan hati, dan sering kali menjadi wasilah rezeki yang tidak disangka-sangka.

7. Husnuzon kepada Allah

Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jika kita berprasangka baik bahwa Allah akan mencukupkan, maka Allah akan menolong dengan cara-Nya.

👉 Prinsip utama dari ikhtiar ukhrowi adalah: bukan hanya mencari rezeki, tapi mencari berkah rezeki.


Penutup

Ekonomi boleh saja tidak bersahabat, namun orang beriman selalu punya dua jalan:

  • Ikhtiar duniawi menjaga “perahu” agar tidak karam.

  • Ikhtiar ukhrowi menghadirkan “angin pertolongan Allah” agar sampai tujuan dengan selamat.

💡 Maka, tetaplah bijak dalam mengelola keuangan, sambil memperbanyak amalan yang mendekatkan diri kepada Allah. Dengan begitu, kita bukan hanya bertahan, tapi juga dimuliakan dalam keberkahan hidup.

Peran Zakat di Tengah Krisis: Menggerakkan Ekonomi Umat

Ketika roda ekonomi melambat dan ketidakpastian menghantui banyak orang, biasanya masyarakat cenderung menahan pengeluaran dan menyimpan uang. Akibatnya, perputaran ekonomi kian tersendat dan dampaknya terasa luas: dari dunia usaha hingga kehidupan rakyat kecil.

Dalam kondisi seperti ini, zakat hadir bukan hanya sebagai ibadah, tetapi juga instrumen ekonomi yang menjaga agar roda kehidupan tetap berputar.

1. Zakat: Mengalirkan Harta yang Tertahan

Di masa krisis, orang-orang cenderung menimbun harta. Zakat berperan mengalirkan sebagian dari harta tersebut kepada yang berhak. Harta yang tadinya “diam” menjadi “bergerak,” masuk ke tangan mustahik (penerima zakat) yang pasti membelanjakannya untuk kebutuhan hidup.

Dengan demikian, zakat mencegah terhentinya peredaran uang dan membantu menstabilkan ekonomi masyarakat bawah.

2. Menopang Kelompok Rentan di Saat Sulit

Krisis selalu paling keras dirasakan oleh kelompok rentan: fakir, miskin, pekerja harian, buruh kecil, dan para dhuafa. Zakat memastikan mereka tetap bisa bertahan dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, sehingga tidak jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem.

Selain itu, keberlangsungan hidup mustahik juga berdampak pada stabilitas sosial. Dengan adanya zakat, jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin bisa dipersempit.

3. Menciptakan Perputaran Ekonomi Riil

Zakat yang diberikan dalam bentuk kebutuhan pokok, modal usaha, atau layanan sosial langsung menciptakan aktivitas ekonomi riil. Misalnya, zakat berupa modal usaha dapat membuat penerima membuka warung kecil, berdagang, atau beternak. Hal ini memicu efek ganda (multiplier effect): tercipta lapangan kerja, meningkatnya daya beli, dan menguatnya ekonomi lokal.

4. Menjaga Keberkahan Harta dan Jiwa

Selain manfaat ekonomi, zakat juga menjaga keberkahan harta para muzakki (pemberi zakat). Rasulullah ﷺ bersabda bahwa harta tidak akan berkurang karena sedekah. Bahkan di tengah krisis, zakat menjadi wasilah turunnya pertolongan Allah dan keberkahan rezeki.

Dengan membayar zakat, seorang Muslim bukan hanya menunaikan kewajiban, tetapi juga berkontribusi menyelamatkan perekonomian umat.


Krisis ekonomi adalah ujian berat, namun Islam telah memberikan solusi yang bukan hanya bersifat spiritual, melainkan juga praktis: zakat. Dengan zakat, harta tidak hanya berputar di kalangan orang kaya, tetapi mengalir ke seluruh lapisan masyarakat.

Maka, di saat ekonomi melambat, jangan menunda zakat. Justru inilah momentum untuk menghidupkan kembali roda ekonomi, menolong sesama, sekaligus meraih keberkahan dari Allah SWT.

Baitul Maal The Next Leader

Dalam perjalanan sejarah BMT, selalu ditekankan bahwa lembaga ini berdiri di atas dua pilar utama: Baitut Tamwil (fungsi bisnis/ekonomi) dan Baitul Maal (fungsi sosial/amanah zakat, infak, sedekah, wakaf). Keduanya adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Namun, sering muncul ungkapan yang patut direnungkan bersama:

  1. “Bahaya jika ada BMT tidak mengaktifkan Baitul Maalnya.”

  2. “Baitul Maal the Next Leader.”

  3. “Leader tidak bisa diciptakan oleh perusahaan/bisnis, tapi lembaga seperti Baitul Maal bisa menciptakan seorang leader.”

Tiga pernyataan ini mengandung pesan penting yang relevan bagi pimpinan BMT dan akademisi untuk mengkaji ulang arah strategis lembaga keuangan mikro syariah.

1. Bahaya BMT Tanpa Baitul Maal

Jika fungsi Baitul Maal diabaikan, BMT berisiko kehilangan jati diri dan hanya dipandang sebagai koperasi biasa. Padahal, BMT didirikan bukan sekadar untuk mengelola keuangan, tetapi juga untuk menunaikan mandat sosial Islam: mengentaskan kemiskinan, menyalurkan zakat, dan memperjuangkan kesejahteraan dhuafa.

Dari perspektif kelembagaan, hilangnya fungsi Baitul Maal akan menggerus kepercayaan masyarakat (trust), menurunkan diferensiasi strategis BMT, dan mengurangi keberkahan yang menjadi nilai tambah spiritual.

2. Baitul Maal Sebagai Pemimpin Perubahan Sosial

Ungkapan “Baitul Maal the Next Leader” menegaskan bahwa lembaga ini memiliki potensi memimpin arah perubahan sosial di tengah krisis moral dan ketimpangan ekonomi. Dengan pengelolaan yang profesional, Baitul Maal bukan hanya instrumen distribusi dana zakat, infak, dan sedekah, tetapi juga motor penggerak pemberdayaan masyarakat.

Hal ini menempatkan Baitul Maal sebagai agen moral leadership—pemimpin yang bukan hanya menekankan efisiensi ekonomi, melainkan juga keberpihakan pada nilai keadilan, solidaritas, dan keberlanjutan sosial.

3. Sekolah Kepemimpinan Berbasis Nilai

Dunia bisnis dapat melahirkan manajer dan eksekutif yang kompeten dalam mengejar target finansial, tetapi jarang mencetak pemimpin yang berkarakter penuh integritas. Sebaliknya, bekerja di lingkungan Baitul Maal membentuk individu untuk berjuang demi kemaslahatan umat, melatih empati, dan menumbuhkan komitmen pada nilai-nilai luhur.

Karena itu, Baitul Maal dapat dipandang sebagai “sekolah kepemimpinan berbasis nilai”, tempat lahirnya pemimpin yang tidak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.


Tiga ungkapan tersebut seharusnya menjadi refleksi bersama bahwa:

  • BMT tanpa Baitul Maal kehilangan ruh.

  • Baitul Maal memiliki potensi kepemimpinan sosial di masa depan.

  • Baitul Maal adalah ruang pencetak pemimpin berintegritas.

Dengan demikian, mengaktifkan dan menguatkan fungsi Baitul Maal bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan strategis untuk menjaga jati diri BMT sekaligus memastikan keberlanjutan peran sosial-ekonomi Islam di tengah masyarakat.

Sudahkah Aku Menjadi Pemimpin yang Dirindukan?

Menjadi pemimpin bukan sekadar soal jabatan atau posisi. Kepemimpinan adalah amanah. Ia akan dimintai pertanggungjawaban, tidak hanya di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah. Karena itu, seorang pemimpin perlu rutin melakukan muhasabah kepemimpinan: mengevaluasi diri dengan jujur, apakah sudah benar-benar memimpin dengan adil, bijak, dan penuh kasih sayang.

Berikut beberapa pertanyaan reflektif yang bisa kita gunakan untuk menilai diri:


1. Niat & Integritas

  • Apakah aku memimpin dengan niat melayani dan mengayomi, atau sekadar ingin dihormati?

  • Apakah aku adil dalam mengambil keputusan, atau masih condong ke orang tertentu?

  • Apakah aku memberi contoh yang baik dalam kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab?

2. Hubungan dengan Tim

  • Apakah aku mendengarkan masukan dan keluhan tim, atau hanya ingin didengar?

  • Apakah aku mudah diakses dan diajak bicara, atau justru membuat orang takut mendekat?

  • Apakah aku menghargai kerja keras orang lain, atau hanya fokus pada kesalahan mereka?

3. Kepemimpinan & Arahan

  • Apakah aku jelas dalam memberi instruksi, atau sering membuat tim bingung?

  • Apakah aku memberi kepercayaan kepada tim, atau terlalu banyak mengontrol?

  • Apakah aku mampu membuat tim semangat, atau justru membuat mereka tertekan?

4. Pengambilan Keputusan

  • Apakah aku mengambil keputusan dengan pertimbangan matang, atau terburu-buru?

  • Apakah aku mendasarkan keputusan pada kepentingan bersama, atau kepentingan pribadi?

  • Apakah aku berani menanggung risiko dari keputusan yang kuambil, atau cenderung lari dari tanggung jawab?

5. Pengembangan Orang Lain

  • Apakah aku memberikan kesempatan tim untuk berkembang, belajar, dan berprestasi?

  • Apakah aku mendidik bawahan menjadi lebih baik, atau hanya memanfaatkan mereka?

  • Apakah aku melihat potensi orang, atau hanya menilai dari kekurangannya?

6. Evaluasi Diri & Akhlak

  • Apakah aku menerima kritik dengan lapang dada, atau tersinggung lalu marah?

  • Apakah aku menjaga akhlak dalam memimpin: sabar, rendah hati, dan tidak arogan?

  • Apakah aku memimpin dengan teladan (uswah), atau hanya dengan perintah?


Seorang pimpinan yang jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan ini akan tahu apakah dirinya sekadar “bos” atau benar-benar pemimpin yang dirindukan oleh timnya.

Karena pada akhirnya, pemimpin sejati bukanlah yang ditakuti, tetapi yang dirindukan.


CATATAN PENTING:
Pertanyaan-pertanyaan ini dibuat untuk muhasabah diri, bukan untuk mencari kesalahan orang lain. Termasuk jika kita seorang pimpinan, gunakanlah daftar ini untuk koreksi pribadi, bukan untuk mengukur atau menghakimi pemimpin lain.