R.A. Kartini, Santriwati Kyai Sholeh Darat
Raden Ajeng Kartini, seorang tokoh yang dikenal luas sebagai pahlawan emansipasi perempuan di Indonesia pada masa kolonial, terus menjadi sumber inspirasi dan kajian. Namun, di balik cerita populer tentang perjuangannya, terdapat aspek-aspek yang masih belum banyak terungkap, terutama dalam hubungannya dengan spiritualitas dan agama.
Kartini lahir dalam keluarga bangsawan Jawa pada 21 April 1879 di Jepara, Hindia Belanda. Dari silsilah keluarganya, ia memiliki hubungan dengan Hamengkubuwana VI. Meskipun dari garis keturunan bangsawan, Kartini bukanlah putri utama ayahnya. Namun, ayahnya adalah seorang bupati yang memiliki kedudukan penting di Jepara.
Salah satu aspek yang jarang terungkap dalam perjalanan hidup Kartini adalah kedalaman spiritualitasnya. Kartini tidak hanya terlibat dalam perjuangan politik dan sosial, tetapi juga memiliki ketertarikan yang kuat pada agama Islam. Perjalanan spiritualnya dimulai melalui pertemuan dengan Mbah Sholeh Darat, seorang ulama yang memainkan peran penting dalam memperkenalkannya pada Islam.
Beliau merupakan guru dari dua tokoh besar, yaitu Mbah Wahid Hasyim dan Mbah Ahmad Dahlan. Mbah Wahid Hasyim adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki jutaan anggota dan memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan sosial dan politik di negeri ini. Sementara itu, Mbah Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah, organisasi Islam modern pertama di Indonesia yang juga memiliki dampak yang signifikan dalam perkembangan pendidikan dan sosial di masa itu
Kartini hadir dalam pengajian-pengajian Kyai Soleh Darat di berbagai tempat, seperti Demak, Kudus, dan Jepara.
Kartini tidak hanya berperan sebagai seorang pelajar yang berdedikasi, tetapi juga sebagai seorang santri yang tekun. Keterlibatannya dalam belajar agama Islam, terutama melalui pengajaran dari Mbah Sholeh Darat, memberinya pemahaman yang lebih dalam tentang ajaran Islam dan spiritualitas.
Dalam surat-suratnya, Kartini mengungkapkan kritiknya terhadap cara pembelajaran agama yang terbatas pada penghafalan tanpa pemahaman. Ia menekankan pentingnya memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, dan merasa frustrasi dengan larangan penerjemahan Al-Qur’an oleh penjajah Belanda. Kartini menginspirasi Kyai Soleh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami oleh masyarakat, melalui bimbingan spiritual dari Mbah Sholeh Darat, Kartini menemukan cahaya dalam kegelapan pengetahuan dan ilmu.
Kartini tidak hanya meninggalkan warisan dalam perjuangan emansipasi perempuan, tetapi juga dalam pemahaman spiritual dan agama. Perjuangannya untuk hak-hak perempuan, bersama dengan pengetahuan dan wawasan agamanya, menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, baik di masa lalu maupun saat ini.
Kisah hidup Kartini tidak hanya mencerminkan perjuangan sosial dan politik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Melalui keterlibatannya dalam agama dan pembelajaran spiritual, Kartini menjadi contoh bagi banyak orang tentang pentingnya integrasi antara keberanian berpikir kritis dan kebijaksanaan spiritual dalam perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan