Berbuat Baik tapi Takut Dicap Sok Suci, Sok Alim, dan Munafik

Adakalanya, dalam perjalanan menuju kebaikan, banyak di antara kita yang merasa terkendala oleh rasa malu atau ketakutan akan persepsi orang lain. Rasa khawatir dianggap sok suci atau munafik sering menjadi hambatan untuk terlibat aktif dalam menyebarkan pesan positif. Namun, pemikiran ini bertentangan dengan ajaran agama yang menegaskan bahwa mengajak kepada kebaikan adalah tanggung jawab bersama yang tidak memerlukan kesempurnaan diri

Ketakutan akan penilaian atau pandangan negatif dari lingkungan sekitar seringkali menghalangi orang untuk berperan aktif dalam menyebarkan kebaikan. Tindakan ini juga sering kali disertai oleh ketidakpastian akan dampak dari apa yang mereka bagikan. Bagi sebagian orang, kekhawatiran akan respon negatif atau kurangnya kesadaran akan kebaikan bisa menjadi penghambat dalam tindakan menyebarkan pesan positif

Al-Qur’an menggarisbawahi pentingnya peran umat dalam menyebarkan kebaikan. Dalam Surat Ali Imran [3:110], disebutkan, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” Hal ini menegaskan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab aktif untuk mengajak kepada kebaikan serta mencegah perbuatan yang buruk.

Konsistensi dalam berbuat baik, walaupun masih memiliki kekurangan, sangat penting dalam memberikan ajakan kepada kebaikan. Kesadaran akan konsekuensi dari perbuatan baik dan buruk menjadi dasar untuk terus mengajak kepada kebaikan meskipun belum sempurna.

Al-Qur’an, dalam berbagai surat, menegaskan pentingnya mengajak kepada kebaikan dan menunjukkan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur (Ash-Shaff [61:4]).

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam satu barisan, seakan-akan mereka suatu bangunan yang tersusun kukuh”

Rasulullah juga memberikan petunjuk tentang pahala bagi yang mengajak kepada kebaikan. Hadis Riwayat Muslim menyatakan, “Barang siapa menunjukkan ke arah kebaikan, maka dia mendapatkan pahala seperti orang yang melakukannya.” Ini menegaskan bahwa mengajak kepada kebaikan sama nilainya dengan melakukannya sendiri.

Ulama dan tokoh-tokoh terkemuka seperti Ibnu Hazm, Ibnu Rajab Al-Hambali, Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, dan Imam An-Nawawi menegaskan bahwa tidak ada alasan untuk menunda memberikan nasihat baik atau membagikan kebaikan, bahkan jika seseorang merasa dirinya belum sempurna. Yang terpenting adalah konsistensi dalam memperbaiki diri sambil tetap aktif dalam mengajak kepada kebaikan.

Ibnu Rajab Al-Hambali: “Jangan sampai patah semangat dalam menasihati orang lain walau diri kita belum baik atau belum sempurna. Yang penting kita mau terus memperbaiki diri” (Lathaif Al-Ma’arif).

Umar bin ‘Abdul ‘Aziz: “Sungguh aku berkata dan aku lebih tahu bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki dosa lebih banyak dari yang aku tahu ada pada diriku. Karenanya aku memohon ampun pada Allah dan bertaubat pada-Nya.”

Al-Hasan Al-Bashri: “Jika orang yang berbuat dosa tidak boleh memberi nasihat pada yang berbuat maksiat, maka siapa tah lagi yang boleh memberikan nasihat setelah (Nabi) Muhammad (wafat)?”

Pesan ulama juga mengingatkan kita bahwa kesempurnaan bukanlah syarat untuk melakukan kebaikan, yang terpenting adalah konsistensi dalam berbuat baik sambil terus memperbaiki diri.

Mengajak kepada kebaikan bukan hanya sebuah tindakan, tetapi juga merupakan bagian dari kewajiban sebagai manusia. Tidak ada yang lebih berharga daripada menyebarkan kebaikan dalam masyarakat, meskipun diri kita masih jauh dari kesempurnaan