Takziyah yang Tak Lagi Menggetarkan Hati

Refleksi dari Relawan Ambulans Peduli

 

Dalam grup relawan Ambulans Peduli, hampir setiap hari ada kabar duka: panggilan pengantaran jenazah.
Kadang bayi yang belum sempat menatap dunia. Kadang remaja yang baru menapaki hidup. Kadang orang tua yang sudah melewati panjangnya perjalanan.
Ada yang dari keluarga mampu, ada pula yang dari kalangan sederhana — bahkan bingung di mana jenazah keluarganya akan dimakamkan.

Sirine ambulans yang meraung bukan hanya suara pelayanan, tapi seharusnya juga suara pengingat: bahwa kematian selalu dekat, dan tidak pernah mengenal waktu.


Takziyah yang Kehilangan Makna

Kita sering datang takziyah. Duduk, menyalami keluarga yang berduka, mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Namun jujur saja, tak selalu hati ini ikut bergetar.
Kadang pikiran melayang ke urusan pekerjaan, pesan WhatsApp, atau agenda esok hari.
Kematian yang ada di depan mata terasa seperti cerita orang lain — bukan peringatan bagi diri sendiri.

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (yakni kematian).”
(HR. Tirmidzi)

Kematian bukan untuk ditakuti, tapi untuk diingat.
Bukan untuk membuat kita takut hidup, tetapi agar kita hidup dengan lebih bermakna.


Sebagai relawan, kami belajar banyak dari perjalanan yang sunyi itu.
Tidak semua jenazah diiringi banyak pelayat. Tidak semua keluarga memiliki cukup biaya.
Kadang jenazah diantar dari rumah kecil yang sempit, dengan keluarga yang hanya bisa meneteskan air mata dalam diam.
Di lain waktu, kami mengantar jenazah dari rumah besar, dengan banyak orang dan karangan bunga.
Tapi pada akhirnya, semuanya kembali ke tanah yang sama, dengan cara yang sama.

Momen seperti itu sering membuat kami merenung —
betapa kematian adalah penyeragam paling adil, yang menghapus perbedaan status, harta, dan jabatan.

Baca Juga  Pentingnya Memanfaatkan Waktu bagi Seorang Muslim

Dan di antara semua pemandangan itu, kami menyadari:
yang paling berharga bukan seberapa lama kita hidup, tapi seberapa banyak kebaikan yang kita tinggalkan.


Kita Butuh Takziyah yang Menghidupkan Hati

Hari ini, banyak yang bisa datang ke rumah duka, tapi sedikit yang datang dengan hati yang sadar.
Takziyah seharusnya bukan sekadar rutinitas sosial.
Ia adalah ruang tafakkur — ruang untuk bertanya pada diri sendiri:

“Jika hari ini aku yang dipanggil, sudahkah aku siap?”

Kita tak pernah tahu kapan giliran kita.
Yang pasti, setiap jenazah yang kita lihat bukan sekadar “mereka yang pergi”, tapi juga peringatan bahwa waktu kita pun semakin dekat.


Setiap kematian adalah panggilan lembut dari Allah, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan.
Agar kita hidup dengan hati yang lebih tenang, amal yang lebih nyata, dan niat yang lebih lurus.

Semoga setiap takziyah yang kita hadiri menjadi pengingat yang menghidupkan,
bukan sekadar kabar yang lewat di grup relawan atau media sosial.

“Cukuplah kematian sebagai nasihat bagi orang yang berakal.”
(HR. Baihaqi)


🕊️ ULAZ MKU ANDA
Menyalurkan Amanah, Menyebarkan Kebaikan, Menyadarkan Hati.