Ketika Pimpinan Perusahaan Mengajukan Syarat Ganda: Sahkah Secara Syariah dan Etika Profesional?

“Ketika amanah disyaratkan, dan syarat itu justru menggerus amanah itu sendiri, masihkah sah secara moral dan syariah?”

Dalam proses rekrutmen manajer atau direktur di sebuah perusahaan, tidak jarang muncul negosiasi dari calon pimpinan seperti:

“Saya bersedia menjadi pemimpin, asal tetap diberi keleluasaan untuk mengelola bisnis pribadi saya di luar perusahaan.”

Sepintas, syarat ini tampak masuk akal. Bukankah setiap orang memiliki hak untuk berwirausaha? Namun dalam kacamata fikih muamalah, etika kepemimpinan, dan kaidah hukum syariah, syarat seperti ini perlu dikaji secara mendalam: apakah ia sah dan dibenarkan, atau justru bertentangan dengan esensi akad dan amanah jabatan?


📌 Syarat dalam Akad: Boleh, Tapi Ada Batasnya

Dalam fikih muamalah, ulama membedakan antara syarat yang lazim (dibenarkan) dan syarat yang fasid (rusak). Suatu syarat dianggap fasid jika:

  1. Bertentangan dengan tujuan utama akad (muqtadha al-‘aqd),

  2. Menyebabkan kerugian pada salah satu pihak,

  3. Menghilangkan manfaat akad secara substansi.

Ibnu Qudamah menjelaskan:

“Syarat yang bertentangan dengan maksud utama akad (muqtadha al-‘aqd) adalah syarat yang tertolak, dan dapat merusak keabsahan akad.”
(Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Bab Syarat dalam Akad)

Contohnya, jika seorang calon pemimpin perusahaan mengajukan syarat agar tetap bisa menjalankan usaha pribadi, maka perlu dievaluasi: apakah syarat ini akan mengganggu pelaksanaan amanah? Apakah ini akan mengurangi performa kepemimpinannya? Apakah hal ini merugikan perusahaan dan tim di bawahnya?


⚖️ Syarat Ganda dan Dampaknya pada Performa Kepemimpinan

Jika pemimpin tidak bisa hadir sepenuhnya karena fokus terbagi dua, maka dampaknya bisa serius:

  • Keputusan strategis tertunda,

  • Karyawan kehilangan arah,

  • Organisasi kehilangan figur teladan,

  • Potensi kemajuan perusahaan tidak tercapai,

  • Kesejahteraan tim ikut terhambat.

Baca Juga  Harus Adakah Visi Pengembangan Baitul Maal?

Secara fikih, ini mencerminkan syarat yang tidak menciptakan maslahat, justru membawa mafsadat (kerusakan).

Lebih jauh lagi, dalam beberapa kasus, seorang pimpinan mengklaim bahwa dirinya telah melaksanakan tugas sesuai kesepakatan awal. Namun jika fakta lapangan menunjukkan bahwa kesalahan masa lalu berulang, prosedur dilanggar, relasi orang dalam mengalahkan kelayakan objektif, dan risiko sistemik dibiarkan tumbuh—maka itu bukan bentuk amanah, melainkan kelalaian terstruktur yang dibungkus pembenaran formal.

Dalam kaidah usul fikih dikenal: “Al-ghayah la tubarriru al-wasilah” — tujuan baik tidak membenarkan cara yang batil. Maka meskipun seseorang merasa telah mendatangkan pemasukan besar untuk perusahaan, jika itu dilakukan melalui jalur yang merusak prosedur dan menyebabkan pembiayaan bermasalah, maka klaim keberhasilan itu tidak sah secara syariah maupun etika. Sebab syariah tidak hanya menilai dari hasil jangka pendek, tapi juga dari keberlangsungan dan keberkahan sistem secara menyeluruh.


📚 Prinsip Etika Profesional dalam Islam

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang jika melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (sungguh-sungguh/profesional).”
(HR. Thabrani)

Itqan (profesionalisme) adalah prinsip penting dalam Islam. Ketika seseorang menerima jabatan sebagai pemimpin, maka ia tidak hanya menandatangani kontrak kerja, tetapi juga memikul amanah yang besar di hadapan Allah dan manusia.


✅ Prinsip DSN-MUI: Amanah dan Keadilan

Meskipun tidak secara spesifik mengatur akad kerja, Fatwa DSN-MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah memberikan prinsip yang relevan, yaitu:

“Setiap mitra dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktivitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.”
(Fatwa DSN-MUI No. 08 Tahun 2000, Ketentuan 2.d)

Dan dalam hadis yang dijadikan dasar fatwa:

“Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu berkhianat, maka Aku keluar dari antara mereka.”
(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh al-Hakim)

Meskipun fatwa ini membahas akad musyarakah (kerjasama bisnis), nilai-nilai dasar seperti amanah, transparansi, dan larangan menyimpang dari wewenang berlaku universal, termasuk dalam konteks pemimpin lembaga atau perusahaan.

Baca Juga  Mengapa yang Islami Malah Tidak Lebih Islami?

Sah Secara Hukum, Belum Tentu Berkah

Tidak semua yang sah di atas kertas akan membawa keberkahan di lapangan. Syarat jabatan yang merugikan perusahaan, melemahkan performa tim, dan mengabaikan amanah kepemimpinan, sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Jika ingin keberkahan, maka setiap pemimpin harus hadir sepenuh hati. Totalitas adalah syarat utama keberhasilan—baik dalam logika manajemen modern, maupun dalam neraca timbangan akhirat.