Menginginkan Perbaikan Bukan Berarti Tidak Bersyukur

Dalam kehidupan sehari-hari, keinginan untuk memperbaiki keadaan atau mencapai sesuatu yang lebih baik sering kali disalahpahami sebagai tanda ketidaksyukuran. Namun, apakah benar menginginkan perbaikan berarti tidak bersyukur? Dalam Islam, syukur bukan hanya tentang menerima keadaan apa adanya, melainkan juga mengoptimalkan nikmat yang Allah berikan untuk membawa kebaikan yang lebih besar.

Apa Itu Syukur yang Sebenarnya?

Banyak yang menganggap syukur hanya cukup diucapkan dengan “Alhamdulillah.” Namun, bersyukur tidak cukup hanya dengan mengucapkan Alhamdulillah, tetapi juga dengan memanfaatkan nikmat yang diberikan Allah secara maksimal. Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak dikatakan bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada sesama manusia.” (HR Abu Dawud)

Artinya, syukur mencakup tindakan nyata, baik kepada Allah maupun kepada sesama. Jika seseorang berdiam diri dan tidak berusaha meningkatkan keadaan, ia bisa saja termasuk dalam kategori orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah.

Akibat Tidak Bersyukur

Orang yg tidak bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah disebut kufur nikmat. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'” (QS Ibrahim: 7)

Akibat tidak bersyukur bisa sangat merugikan, baik di dunia maupun di akhirat. Kebanyakan manusia tidak bersyukur karena mereka lalai melihat nikmat kecil yang mereka miliki. Padahal, jika tidak bisa mensyukuri yang sedikit, bagaimana mungkin dapat menjaga yang besar?

Mengapa Menginginkan Perbaikan adalah Bagian dari Syukur?

  1. Memanfaatkan Potensi Nikmat yang Allah Berikan Ketika seseorang berusaha memperbaiki keadaan, itu menunjukkan bahwa ia menghargai nikmat yang telah diberikan Allah. Nabi Yusuf AS, misalnya, menawarkan dirinya untuk menjadi pengelola perbendaharaan Mesir karena ia tahu bahwa dirinya mampu menjalankan tugas tersebut dengan baik (QS Yusuf: 55).
  2. Mencegah Kerusakan di Masa Depan

Bertahan di zona aman tanpa inovasi dapat membawa risiko besar bagi keberlanjutan, meskipun pendapatan perusahaan saat ini masih tercapai. Ketika sebuah organisasi tidak berupaya untuk berkembang, mereka mengabaikan tanggung jawab untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.

Sebuah organisasi yang stagnan sering kali membuat beban lebih besar pada karyawan yang bekerja keras untuk menjaga keberhasilan saat ini. Tanpa dorongan dari pemimpin untuk memperbaiki proses atau sistem, potensi dan semangat kerja karyawan dapat terkikis. Lebih jauh lagi, pemimpin yang hanya memberikan instruksi tanpa memahami seluk-beluk pekerjaan di lapangan akan sulit membangun rasa kepercayaan dan solidaritas dalam tim.

Pemimpin yang tidak berusaha menjadi teladan dalam kerja keras dan inovasi bukan hanya kehilangan peluang untuk membawa organisasi ke tingkat yang lebih tinggi, tetapi juga secara tidak langsung menghambat potensi timnya. Dalam Islam, menjaga amanah yang diberikan Allah, termasuk tanggung jawab kepada orang-orang yang dipimpin, adalah hal yang sangat penting. Mendorong perubahan dan perbaikan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab seorang pemimpin untuk memastikan keberkahan dan keberlanjutan bagi semua.

Kritik yang Membangun: Tanda Kepedulian, Bukan Ketidaksyukuran

Dalam bekerja, memberikan kritik atau saran untuk perbaikan tidak berarti seseorang tidak bersyukur. Justru, kritik yang konstruktif menunjukkan tanggung jawab untuk menjaga keberlangsungan kebaikan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim)

Kita Tidak Boleh Kufur atas yang Allah Berikan

Mengucapkan syukur saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan perbuatan nyata. Dalam Islam, tindakan untuk menjaga dan meningkatkan nikmat adalah bagian dari syukur itu sendiri. Kufur nikmat terjadi ketika seseorang hanya puas dengan keadaan tanpa berusaha memperbaiki diri, sehingga nikmat tersebut akhirnya hilang atau tidak membawa keberkahan.

Menginginkan perbaikan atau sesuatu yang lebih baik bukanlah tanda ketidaksyukuran, melainkan wujud syukur yang sebenarnya. Orang yang tidak bersyukur atas nikmat Allah disebut kufur nikmat, sementara mereka yang berusaha memperbaiki keadaan adalah orang-orang yang memanfaatkan nikmat Allah dengan sebaik-baiknya.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d: 11)

Mari jadikan syukur sebagai motivasi untuk terus meningkatkan kualitas hidup, bekerja dengan lebih baik, dan menjaga keberkahan nikmat yang Allah berikan. Dengan begitu, syukur tidak hanya menjadi ucapan, tetapi juga tindakan nyata yang membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang lain